BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Jumat, 03 Februari 2012

GARA-GARA BUAH RAMBUTAN

Di sebuah kampung terpencil terdapat pondok pesantren yang tidak banyak santrinya. Terdengar dari kejauhan suara-suara santri yang sedang bersholawat sambil menabuhkan alat musik marawis. Saat itu para santri sedang menikmati hari liburnya dengan bermain, selain itu ada juga dari santri yang lain melakukan aktivitas lain.
Saat di penghujung waktu santai, yaitu setelah sholat Ashar, aku bersama temanku Salma ingin keluar pondok untuk ke warung membeli keperluan kami.
“Sal, ke warung yuk ? aku mau beli sabun mandi nih.” Ajakku pada Salma.
“Oh, iya ... kebetulan sabun mandi aku juga udah habis.” Jawab Salma setuju.
Setelah itu kami pun siap-siap ke warung dan meminta ijin terlebih dahulu pada pengurus. Seperti biasa, setiap santri yang ingin keluar dari wilayah pondok terlebih dahulu ijin pada pengurus, jika tidak kami akan dihukum.
“Teh Noer, kami minta ijin sebentar ke warung.” kataku meminta ijin.
“Mau beli apa kalian? apa tidak tersedia di koperasi pondok ?” tanya Teh Noer dengan tegas pada kami.
“Udah habis, teh ... makanya kami mau beli di luar.” Jawab Salma.
“Ya udah, tapi jangan lama-lama ya !” ucap Teh Noer.
“Na’am ...” kataku dengan Salma serempak dengan bahasa Arab.
Saat kembali, aku dan Salma tak sengaja melintasi sebuah kebun rambutan. Di sana aku mendengar ada yang memanggil kami, “Hai, Banaat ... mau rambutan gak ?” kami sempat terkejut mendengarnya lalu kami berhenti sejenak.
“Sal, kayaknya ada yang memanggil, kira-kira siapa ya ?” tanyaku pada Salma dengan heran.
“Iya, kayaknya dari kebun rambutan Umi dah!” Jawab Salma pasti.
“Huh, paling orang iseng aja. Yuk, kita balik ke pondok aja, nanti kita dihukum kalau lama-lama.” Ajakku pada Salma.
 Awalnya aku tak peduli, tetapi saat kulihat ternyata Dani dan dua santriwan lainnya yang memanggil, kami menghampiri mereka sebentar.
 “Sedang apa kalian di sini?” tanyaku.
“Kami sedang memetik rambutan, kalian mau ?” jawab Dani.
“Kami sih mau saja, tapi kalian sudah ijin belum sama Umi?” tanyaku lagi meyakinkan.
“Ya sudahlah, kalau belum ngapain juga kami mengambil rambutan ini?” jawab Dani sambil memakan buah rambutan yang dipeganginya.
“Ya udah, kasih kita sepuluh saja !” Pintaku. Kemudian kami pergi setelah mereka memberi 10 buah rambutan tersebut.
Sesampai di pondok, aku dan Salma menawari buah rambutan ini kepada santriwati lainnya, “Hai, Banaat ... Siapa yang mau rambutan datang ke sini ya !” seruku. Tidak lama kemudian Dedeh dan Biah datang menghampiri kami dan ikut memakan rambutan pemberian santriwan tadi.
“Asyik nih, bolehlah kita ikutan makan.” Ucap Dedeh dan Biah. Mereka lansung melahap semua rambutan itu tanpa banyak bertanya, darimana datangnya rambutan ini.
Saat para santri bersiap-siap ke masjid untuk sholat maghrib, aku masih di kamar mandi untuk mengambil wudhu. Terdengar dari luar suara Salma memanggilku, “Nisa..Nisa..Nisa..” berkali-kali ia memanggil, aku tak bisa menjawab karena sedang berwudhu. Setelah selesai, aku menghampirinya.
“Ada apa Sal, kok kayak panik gitu?” tanyaku dengan heran.
“Kita dipanggil sama pengurus, Nis! Gara-gara kita makan rambutan tadi.” Jawabnya cemas.
“Dipanggil ? ya sudah kita temuin aja, kita kan nggak salah ngapain juga takut.” Lanjutku tanpa rasa cemas.
Dari depan kamar, terlihat Dani dan santriwan tadi yang memetik buah rambutan sedang berdiri berderetan di dalam kantor pengurus. Perasaanku yang tadi biasa saja berubah secara sekejap menjadi cemas.
“Bagaimana ini, Nis ?” tanya Salama gugup ketakutan.
“Aku juga nggak tau, udah .. ayo kita ke kantor aja!” jawabku sambil berjalan menuju kantor pengurus.
Aku dan Salma bergegas menuju kantor. Belum sampai di depan pintu, aku dan Salma terkejut mendengar teriakan suara pengurus, sepertinya dia sedang memarahi Dani dan kawan-kawan. Tidak lama kemudian, aku dan Salma masuk ke dalam kantor itu, kami langsung disuruh berdiri dengan cara yang sama dengan mereka.
 “Apa kalian berdua juga ikut mengambil rambutan?” tanya Bang Otong itu dengan tegas.
“Tidak, Bang, kami cuma dikasih aja sama Dani.” Jawab aku dan Salma serempak.
“Siapa aja tadi yang makan buah rambutan ?” tanyanya lagi.
“Nisa, Salma, Dedeh, dan Biah ...” jawabku pelan.
“Sekarang panggil Dedeh sama Biah !” seru Bang Otong.
Aku terkejut saat Bang Otong menyuruhku memanggil Dedeh dan Biah, padahal mereka tidak tahu-menahu tentang hal ini. Aku takut mereka akan marah dan menyalahkan aku dan Salma yang melibatkan mereka. Tapi, aku tetap harus memanggil mereka karena ini perintah. Kemudian aku keluar dari kantor menuju musholah untuk memanggil Dedeh dan Biah yang sedang bertadarus.
“Deh, Biah ... afwan, kalian juga dipanggil sama Bang Otong.” Kataku.
“Kenapa ? apa salah kita ?” tanya Dedeh heran.
“Nggak tau tuh Bang Otong ... udah, kalian ke sana aja daripada nanti dia tambah marah!” pintaku dengan rasa bersalah.
Tak lama kemudian kami pun bertiga datang dan langsung disuruh berdiri berderet dengan Salma, Dani, dan teman-teman yang tadi mencuri buah rambutan.
“Kalian tahu, kalau buah rambutan yang kalian makan itu punya Umi?” tanyanya lagi.
“Tahu, tapi kata mereka udah ijin sama Umi? Ya udah, kami mau menerimanya.” Jawabku polos.
“Kalian tahu, tadi Umi marah-marah sama Abang, katanya ada santri yang mengambil rambutan gak ijin sama Umi? Bukannya apa-apa, Abang gak mau kalian itu mencuri, karena mencuri itu tidak baik, yang tadinya buah itu halal menjadi haram, dan itu bakal membuat ilmu yang kalian dapat akan sia-sia dan tidak bermanfaat karena kemurkaan seorang guru juga. Mengerti kalian ?”
“Iya, Bang..” Jawab kami dengan serempak.
Beberapa menit kemudian, aku dan teman-teman yang lain keluar dari kantor pengurus. Aku kesel dan marah sama Dani karena telah membohongi aku dan Salma.
“Eh, Dani, bisa-bisanya kamu bohong sama kita, kalau tau begini jadinya aku nggak mau tuh dikasih rambutan sama kamu !” kataku kesal pada Dani. Dani hanya senyum ngeledek dan pergi begitu saja.
Dan terlihat wajah Dedeh yang sedikit kesal terhadap aku dan Salma. “Nisa, kenapa nggak bilang kalau buah rambutan tadi boleh diambil tanpa ijin sama Umi ?” tanya Dedeh. “Tadi kenapa juga kamu nggak tanya-tanya sama aku atau sama Salma. Kalau tanya bakal kita jawab, kok!” jawabku jelas. “Lagipula, aku juga nggak tau kalau mereka belum ijin sama Umi.” Lanjutku.
“Sudah ... sudah ... yang salah kita semua, he .. he .. he !” ucap Biah yang tidak kesal padaku.
“Iya, ini sebuah pelajaran buat kita, agar kita lebih hati-hati lagi sama sesuatu yang belum jelas keadaannya, betul apa tidak ?” Ucap Salma. Kami pun hanya tersenyum satu sama lain dan pergi bersama ke mushola untuk sholat Maghrib berjama’ah.

Tugas UAS Penpop

0 komentar: