BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Jumat, 03 Februari 2012

GARA-GARA BUAH RAMBUTAN

Di sebuah kampung terpencil terdapat pondok pesantren yang tidak banyak santrinya. Terdengar dari kejauhan suara-suara santri yang sedang bersholawat sambil menabuhkan alat musik marawis. Saat itu para santri sedang menikmati hari liburnya dengan bermain, selain itu ada juga dari santri yang lain melakukan aktivitas lain.
Saat di penghujung waktu santai, yaitu setelah sholat Ashar, aku bersama temanku Salma ingin keluar pondok untuk ke warung membeli keperluan kami.
“Sal, ke warung yuk ? aku mau beli sabun mandi nih.” Ajakku pada Salma.
“Oh, iya ... kebetulan sabun mandi aku juga udah habis.” Jawab Salma setuju.
Setelah itu kami pun siap-siap ke warung dan meminta ijin terlebih dahulu pada pengurus. Seperti biasa, setiap santri yang ingin keluar dari wilayah pondok terlebih dahulu ijin pada pengurus, jika tidak kami akan dihukum.
“Teh Noer, kami minta ijin sebentar ke warung.” kataku meminta ijin.
“Mau beli apa kalian? apa tidak tersedia di koperasi pondok ?” tanya Teh Noer dengan tegas pada kami.
“Udah habis, teh ... makanya kami mau beli di luar.” Jawab Salma.
“Ya udah, tapi jangan lama-lama ya !” ucap Teh Noer.
“Na’am ...” kataku dengan Salma serempak dengan bahasa Arab.
Saat kembali, aku dan Salma tak sengaja melintasi sebuah kebun rambutan. Di sana aku mendengar ada yang memanggil kami, “Hai, Banaat ... mau rambutan gak ?” kami sempat terkejut mendengarnya lalu kami berhenti sejenak.
“Sal, kayaknya ada yang memanggil, kira-kira siapa ya ?” tanyaku pada Salma dengan heran.
“Iya, kayaknya dari kebun rambutan Umi dah!” Jawab Salma pasti.
“Huh, paling orang iseng aja. Yuk, kita balik ke pondok aja, nanti kita dihukum kalau lama-lama.” Ajakku pada Salma.
 Awalnya aku tak peduli, tetapi saat kulihat ternyata Dani dan dua santriwan lainnya yang memanggil, kami menghampiri mereka sebentar.
 “Sedang apa kalian di sini?” tanyaku.
“Kami sedang memetik rambutan, kalian mau ?” jawab Dani.
“Kami sih mau saja, tapi kalian sudah ijin belum sama Umi?” tanyaku lagi meyakinkan.
“Ya sudahlah, kalau belum ngapain juga kami mengambil rambutan ini?” jawab Dani sambil memakan buah rambutan yang dipeganginya.
“Ya udah, kasih kita sepuluh saja !” Pintaku. Kemudian kami pergi setelah mereka memberi 10 buah rambutan tersebut.
Sesampai di pondok, aku dan Salma menawari buah rambutan ini kepada santriwati lainnya, “Hai, Banaat ... Siapa yang mau rambutan datang ke sini ya !” seruku. Tidak lama kemudian Dedeh dan Biah datang menghampiri kami dan ikut memakan rambutan pemberian santriwan tadi.
“Asyik nih, bolehlah kita ikutan makan.” Ucap Dedeh dan Biah. Mereka lansung melahap semua rambutan itu tanpa banyak bertanya, darimana datangnya rambutan ini.
Saat para santri bersiap-siap ke masjid untuk sholat maghrib, aku masih di kamar mandi untuk mengambil wudhu. Terdengar dari luar suara Salma memanggilku, “Nisa..Nisa..Nisa..” berkali-kali ia memanggil, aku tak bisa menjawab karena sedang berwudhu. Setelah selesai, aku menghampirinya.
“Ada apa Sal, kok kayak panik gitu?” tanyaku dengan heran.
“Kita dipanggil sama pengurus, Nis! Gara-gara kita makan rambutan tadi.” Jawabnya cemas.
“Dipanggil ? ya sudah kita temuin aja, kita kan nggak salah ngapain juga takut.” Lanjutku tanpa rasa cemas.
Dari depan kamar, terlihat Dani dan santriwan tadi yang memetik buah rambutan sedang berdiri berderetan di dalam kantor pengurus. Perasaanku yang tadi biasa saja berubah secara sekejap menjadi cemas.
“Bagaimana ini, Nis ?” tanya Salama gugup ketakutan.
“Aku juga nggak tau, udah .. ayo kita ke kantor aja!” jawabku sambil berjalan menuju kantor pengurus.
Aku dan Salma bergegas menuju kantor. Belum sampai di depan pintu, aku dan Salma terkejut mendengar teriakan suara pengurus, sepertinya dia sedang memarahi Dani dan kawan-kawan. Tidak lama kemudian, aku dan Salma masuk ke dalam kantor itu, kami langsung disuruh berdiri dengan cara yang sama dengan mereka.
 “Apa kalian berdua juga ikut mengambil rambutan?” tanya Bang Otong itu dengan tegas.
“Tidak, Bang, kami cuma dikasih aja sama Dani.” Jawab aku dan Salma serempak.
“Siapa aja tadi yang makan buah rambutan ?” tanyanya lagi.
“Nisa, Salma, Dedeh, dan Biah ...” jawabku pelan.
“Sekarang panggil Dedeh sama Biah !” seru Bang Otong.
Aku terkejut saat Bang Otong menyuruhku memanggil Dedeh dan Biah, padahal mereka tidak tahu-menahu tentang hal ini. Aku takut mereka akan marah dan menyalahkan aku dan Salma yang melibatkan mereka. Tapi, aku tetap harus memanggil mereka karena ini perintah. Kemudian aku keluar dari kantor menuju musholah untuk memanggil Dedeh dan Biah yang sedang bertadarus.
“Deh, Biah ... afwan, kalian juga dipanggil sama Bang Otong.” Kataku.
“Kenapa ? apa salah kita ?” tanya Dedeh heran.
“Nggak tau tuh Bang Otong ... udah, kalian ke sana aja daripada nanti dia tambah marah!” pintaku dengan rasa bersalah.
Tak lama kemudian kami pun bertiga datang dan langsung disuruh berdiri berderet dengan Salma, Dani, dan teman-teman yang tadi mencuri buah rambutan.
“Kalian tahu, kalau buah rambutan yang kalian makan itu punya Umi?” tanyanya lagi.
“Tahu, tapi kata mereka udah ijin sama Umi? Ya udah, kami mau menerimanya.” Jawabku polos.
“Kalian tahu, tadi Umi marah-marah sama Abang, katanya ada santri yang mengambil rambutan gak ijin sama Umi? Bukannya apa-apa, Abang gak mau kalian itu mencuri, karena mencuri itu tidak baik, yang tadinya buah itu halal menjadi haram, dan itu bakal membuat ilmu yang kalian dapat akan sia-sia dan tidak bermanfaat karena kemurkaan seorang guru juga. Mengerti kalian ?”
“Iya, Bang..” Jawab kami dengan serempak.
Beberapa menit kemudian, aku dan teman-teman yang lain keluar dari kantor pengurus. Aku kesel dan marah sama Dani karena telah membohongi aku dan Salma.
“Eh, Dani, bisa-bisanya kamu bohong sama kita, kalau tau begini jadinya aku nggak mau tuh dikasih rambutan sama kamu !” kataku kesal pada Dani. Dani hanya senyum ngeledek dan pergi begitu saja.
Dan terlihat wajah Dedeh yang sedikit kesal terhadap aku dan Salma. “Nisa, kenapa nggak bilang kalau buah rambutan tadi boleh diambil tanpa ijin sama Umi ?” tanya Dedeh. “Tadi kenapa juga kamu nggak tanya-tanya sama aku atau sama Salma. Kalau tanya bakal kita jawab, kok!” jawabku jelas. “Lagipula, aku juga nggak tau kalau mereka belum ijin sama Umi.” Lanjutku.
“Sudah ... sudah ... yang salah kita semua, he .. he .. he !” ucap Biah yang tidak kesal padaku.
“Iya, ini sebuah pelajaran buat kita, agar kita lebih hati-hati lagi sama sesuatu yang belum jelas keadaannya, betul apa tidak ?” Ucap Salma. Kami pun hanya tersenyum satu sama lain dan pergi bersama ke mushola untuk sholat Maghrib berjama’ah.

Tugas UAS Penpop

MENTARI KAMPUNG GARDU BATOK

         Tiga hari sebelum berangkat ke luar kota, Asti sudah mempersiapkan semua pakaiannya di dalam tas. Tetapi niat itu belum sepenuhnya diyakini karena banyak pihak yang tidak merelakannya pergi dari kampung ini.
“Asti, apa kamu benar-benar mau meninggalkan Nenek sendiri di sini ?” ucap Nenek yang tiba-tiba masuk ke kamar dan menghampiri Asti.
“Sebenarnya Asti tidak mau Nek, tapi ... “
“Karena keadaan ?” belum selesai perkataan Asti, Nenek sudah langsung meneruskan pembicaraannya dan Asti hanya diam.
“Asti, kamu tau kalau di Jakarta itu kehidupannya seperti apa?” tanya Nenek.
“Asti tau Nek, tapi Asti bisa kok menjaga diri Asti di sana.” Ucap Asti dengan lembut meyakinkan Neneknya.
Nenek hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan air yang mengambang di pelupuk matanya dan langsung pergi keluar kamar meninggalkan Asti. Sebenarnya Asti tidak ingin mengecewakan Neneknya yang sudah susah payah membesarkan dan mengurusnya sejak ditinggalkan Orangtuanya. Ibunya sudah tiada sejak Asti berusia empat tahun, sedangkan Ayahnya sudah tiada sejak Asti masih di kandungan. Karena itu Asti tidak ingin selamanya menyusahkan Neneknya. Asti hanya bekerja sebagai guru mengaji di kampungnya dengan hasil yang minim sehingga ia harus bekerja di Jakarta yang mungkin hasilnya lebih mencukupi.
  Asti ingin bekerja di Jakarta karena ditawari oleh teman sewaktu SD-nya, Susi. Asti melihat kehidupan Susi lebih baik semenjak bekerja di sana. Ia sudah bisa merenovasi rumah, membeli motor, dan juga bisa  menyekolahkan adik-adiknya sampai SMA. Selain itu, Susi juga terlihat berbeda dari penampilannya.
“Wah, kamu terlihat lebih heboh dan cantik Susi, semenjak kamu tinggal lama di Jakarta.” Ucap Asti ketika ia bertemu Susi di warung dekat rumahnya.
“Iya lah, walaupun aku cuma pembantu di sana tapi aku nggak mau ketinggalan sama trend-nya.” Jawab Susi dengan bangga.
“Oh, begitu …” lanjut Asti
“Kamu mau jadi kayak aku gini, Asti? Bisa merenovasi rumah, bisa beli baju bagus, dan lainnya.” Tanya Susi.
“Hmm.. emang ada pekerjaan buat aku di sana, Sus?” Tanya Asti balik.
“Ada, kebetulan tetangga majikanku membutuhkan pembantu baru, kamu mau?” Susi mulai menawari pekerjaan pada Asti.
“Oh ya ? baiklah nanti aku bicarakan dulu sama Nenekku.” Jawab Asti dengan senang.
“Oke! Nanti aku tunggu jawabanmu, tapi jangan kelamaan karena aku nggak lama di sini, aku mau balik lagi ke Jakarta, ya!” ucap Susi.
“Iya, terima kasih ya, Sus!” ucap Asti sebelum mereka meninggalkan warung.
Semenjak itu Asti berniat untuk bekerja di Jakarta, karena ia merasa jika ia bekerja di  sana, ia bisa membahagiakan Neneknya. Namun, keinginannya itu tidak diijinkan Nenek karena khawatir cucunya akan seperti Susi yang sombong dan berpakaian yang tidak pantas. Nenek dikenal sebagai guru mengaji di kampung Gardu Batok, sehingga dia keras dalam mendidik agama terutama terhadap cucunya, Asti.
Setelah meminta ijin pada Nenek, Asti menemui Susi di rumahnya.
“Susi, aku nggak bisa ikut sama kamu.” Ucap Asti saat bertemu Susi di rumahnya.
“Kenapa ? karena Nenekmu ?” Tanya Susi lagi.
“Iya, aku nggak diberi ijin sama Nenek, lagipula aku nggak tega tinggalin Nenek sendirian di sini.” Jawan Asti jelas.
“Apa kamu nggak nyesel ? ingat, kalau kamu kerja di Jakarta, kamu bisa membahagiakan Nenekmu.” Rayu Susi. Asti pun sejenak berpikir sekali lagi untuk meyakinkan niatnya itu, dan tanpa pikir panjang Asti langsung menyetujui tawaran Susi.
Malam sebelum hari perginya Asti, Nenek mencoba kembali menyakinkan Asti agar tidak pergi bekerja ke Jakarta.
“Asti, kalau kamu pergi, nanti siapa yang akan menggantikanmu mengajar anak-anak?” Tanya Nenek.
“Masih ada teh Mira, Nek. Dia yang akan menggantikan Asti.” Jawab Asti.
“Semudah itu kamu meninggalkan mereka di saat mereka sedang ingin belajar darimu?” Tanya Nenek lagi.
Asti tidak bisa menjawab pertanyaan Nenek, ia semakin ragu untuk pergi. Ia merasa Neneknya benar-benar tidak merelakannya pergi, tapi ia sudah berjanji pada Susi bahwa ia akan ikut ke Jakarta, Susi pun sudah memberitahu pada majikannya kalau  ia sudah dapat teman yang akan bekerja di sana.
Esoknya, sebelum Asti pergi, sekali lagi iya meminta restu dari Neneknya.
“Nek, Asti pergi ya ! dan tolong doakan Asti agar selamat di sana.” Pinta Asti.
“Iya, Nenek cuma bisa kasih doa saja. Tapi sekali lagi Nenek cuma bisa bilang sama kamu, pekerjaan menjadi guru itu lebih mulia daripada pekerjaan yang akan kamu kerjakan nanti di Jakarta. Di sini lebih membutuhkan ilmu apalagi ilmu agama dan itu ibarat mentari yang bersinar menerangi bumi.” Ucap Nenek.
Mendengar itu Asti sedih dan meneteskan setitik air matanya, lalu pelan-pelan pergi meninggalkan Neneknya. Dalam berjalan menuju rumah Susi, Asti masih memikirkan apa arti kata yang diucapkan Neneknya tadi, tak lama terdengar suara anak-anak dari kejauhan dan dilihat ternyata murid-murid pengajiannya.
“Kak Asti … kak Asti … kakak mau kemana ? kakak mau pergi jauh ya ?” Tanya Ahmad salah satu dari muridnya.
“Iya, kakak mau pergi ya ? jangan pergi dong, kita kan masih mau belajar sama kakak.” Ucap Nisa sambil menarik-narik pelan baju Asti. “Kita nggak akan nakal lagi, kita akan rajin mengaji … “ lanjutnya.
Mendengar itu semua, hati Asti menjadi luluh, ia sekarang mengerti maksud kata-kata Neneknya bahwa mengajari ilmu lebih berarti karena dapat memberi manfaat kepada orang lain, selain itu dapat mejadikan orang yang tidak tahu menjadi tahu karena dapat petunjuk atau penerangan dari seorang guru dan itu ibarat mentari menerangi bumi.
“Iya, kakak nggak akan pergi kok .” Jawab Asti dengan senyum senang. “Hore … hore .. hore !!!” sorak-sorai  murid-murid Asti dengan gembira. Kemudian Asti melanjutkan langkahnya menuju rumah Susi.
“Susi, sebelumnya aku minta maaf, aku nggak jadi ikut sama kamu ke Jakarta.” Ucap Asti dengan rasa bersalah.
“Kenapa ? karena Nenekmu lagi ? sudah ... “ Susi belum selesai bicara, Asti lansung menjawab, “Bukan hanya Nenek, aku nggak mau meninggalkan murid-muridku dan kampung ini.”
“Benar ? kmu nggak akan nyesal nanti ?” tanya Susi menyakinkan.
“Iya, aku nggak akan nyesal dan tidak akan pernah nyesal !” jawab Asti dengan pasti.
“Ya sudah, itu terserah kamu saja, aku sudah punya penggantimu kok !” ucap Susi dengan wajahnya yang angkuh.
“Ya sudah, aku pamit ya? Assalamu”alaikum ... “
Setelah itu Asti dengan bergegas pulang ingin langsung menemui Neneknya dan meminta maaf karena telah hampir mengecewakannya.

Tugas 7 Penpop

Selasa, 31 Januari 2012

Ali si Anak Nakal

oleh : Dessy Susanti

Ali si Anak Nakal
            Di sebuah desa, ada seorang anak laki-laki yang bernama Ali. Ia berumur sepuluh tahun, sejak kecil Ali sangat nakal. Ia suka mengganggu teman-teman sebayanya, ia juga melawan kepada kedua orang tuanya apa-apa yang ia inginkan harus terpenuhi. Ia tinggal dari keluarga tidak mampu, tapi tingkahnya seperti orang kaya. Apa yang dimiliki temanya, ia harus memilikinya juga.
            Ayah Ali bekerja di sawah milik tetangganya, karena ayahnya tidak mempunyai uang untuk membeli sawah. Sedangkan ibunya bekerja sebagai pembantu di rumah tetangga yang kaya raya dan baik hati.
            Ali sangat manja kepada orang tuanya, karena Ali hanya anak tunggal. Apa saja yang diinginkan Ali, orang tuanya akan berusaha memenuhinya dengan cara apapun. Suatu hari Ali meminta dibelikan sepeda kepada ayahnya, karena temannya baru dibelikan sepeda oleh ke dua orangtuanya, Ali merasa iri dan tidak mau kalah dengan temannya. Ia menangis seharian, sehingga orang tuanya tidak tega melihat anak kesayangannya menangis. Akhirnya ayahnya memutuskan untuk menjual kambing satu-satunya milik mereka dan membelikan sepeda baru untuk Ali.
            Semakin lama tingkah Ali semakin tidak karuan, ia semakin sombong dan nakal kepada teman-temannya. Ali tidak memiliki teman dekat, karena temannya tidak suka dengan sifat Ali yang sombong dan nakal. Ia juga suka memukul temannya jika temannya tidak mendengarkan apa katanya.
            Di sekolah ia juga sering berbuat onar, ia suka mengambil barang milik temannya yang tidak ia miliki untuk ditunjukan kepada teman-temannya dirumah. Teman sekolahnya juga takut kepada Ali, karena ia memiliki tubuh yang lumayan besar. Sehingga teman-temannya tidak berani melawannya.
            Para orangtua teman Ali sering datang kerumah untuk mengadukan kelakuan nakalnya. Orangtua mereka mengadu mulai dari Ali memukul anaknya sampai Ali mengambil barang-barang milik anak mereka, dan para orangtua meminta ganti rugi atas apa yang telah diperbuat Ali. Sebenarnya orangtua Ali juga sudah lelah dan sangat sedih dengan semua masalah yang diperbuat anakya. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa atau memarahi anaknya, karena mareka sangat menyayangi anak sematawayangnya itu.
            Suatu hari ayah Ali jatuh sakit, keuangan keluarga mereka semakin kekurangan, sebab gaji dari ibunya digunakan untuk membeli obat ayahnya, dan perhatian ibunya pun terbagi untuk merawat ayahnya yang sedang sakit. Sehingga Ali merasa ibunya sudah tidak sayang dan tidak dapat memenuhi apa yang ia inginkan. Ali pun pergi dari rumah.
            Sejak kepergian Ali kondisi kesehatan ayahnya semakin memburuk dan akhirnya ayahnya pun meninggal dunia. Kini ibunya hanya tinggal seorang diri, ia haya bisa termenung dan berharap anak kesayangannya akan lekas pulang.
            Saat pergi dari rumah Ali tinggal di pinggir pasar, ia tidur di pinggir took-toko yang sedang tutup. Untuk makan ia mencuri barang-barang orang yang ada di pasar. Di pasar ini ia dapat melihat berbagai macam orang, mulai dari para pedagang, pembeli yang kayaraya, sampai pengemis. Dan ia dapat menilai kelakuan mereka.
            Ali suka memperhatikan kelakuan orang-orang di pasar. Ada pedagang yang jujur dan ada juga yang curang. Ia juga melihat kelakuan pengemis-pengemis malas bekerja dan hanya ingin meminta-minta kepada orang. Di sana juga ada preman-preman yang suka meminta jatah uang secara paksa. “Apakah aku seperti preman itu yang suka mengambil milik orang dengan paksa?”, gumam Ali dalam hati.
            Pagi itu Ali melihat seorang anak kecil bersama lelaki tua sedang duduk di pinggir toko yang sedang tutup. Anak itu sedang menyuapi nasi bungkus kepada lelaki tua itu. Setelah menyuapi lelaki tua itu, si anak berjalan menuju tengah pasar dan mencari pembeli yang ingin dibawakan barang dagangannya. Melihat anak itu Ali teringat kepada orang tuanya. Padahal anak kecil itu baru berumur sekitar tujuh tahun, tetapi ia sudah dapat membantu orangtuanya. Sedangkan Ali yang jauh  lebih besar hanya bisa membuat repot orangtuanya.
            Akhirnya Ali pun memutuskan untuk kembali pulang ke rumah dan ingin berbuat baik kepada ke dua orangtuanya.
            Saat  sampai dirumah Ali langsung berteriak memanggil orangtuanya. “Ayah, ibu aku pulang”. Tetapi tidak ada jawaban dari dalam rumah, dan Ali pun menanyakan di mana keberadaan orangtuanya kepada para tetangga.
            Tetangganya pun menceritakan semua yang telah terjadi sejak kepergian Ali. Dan memberitahu bahwa ayahnya telah meninggal satu minggu yang lalu. Tetangganya pun memberitahu di mana jenazah ayahnya di makamkan.
            Ali pun langsung berlari berlari menuju tempat ayahnya di makamkan, ia melihat ibunya sedang termenung di depan sebuah makam yang mungkin itu makam ayahnya. Ali pun langsung mendekati ibunya dan langsung memeluknya. Ibunya pun kaget dan merasa senang melihat anaknya telah kembali.
            Ali menceritakan kehidupannya sejak pergi dari rumah, dan ia berjanji akan berubah. Sekarang Ali menjadi anak yang baik dan selalu menolong ibunya.

Aku bukan Raja yang dulu

Oleh : Dessy Susanti

Aku bukan Raja yang dulu
Nama ku Raja Saputra, kata ayah ia memberi nama ini karena ia ingin suatu hari nanti aku menjadi pemimpin. Ayahku seorang  pengusaha swasta di bidang peternakan, aku anak putra pertama dan anak terakhir dari tiga bersaudara. Orang bilang aku ini anak kesayangan ayah, sebab aku anak lelaki yang sangat di inginkan.   
Aku hanya lulusan SMP saja, saat kelas 1 SMA aku sudah di keluarkan tiga kali dari sekolah yang berbeda. Mereka mengeluarkan aku dari sekolah dengan alasan aku sering bolos sekolah, jarang masuk kelas dan bercanda di dalam kelas, tidak mematuhi peraturan, aku juga tidak mendengarkan apa kata guru, dan masih banyak lagi alasan-alasan mereka tidak menerimaku lagi di sekolah.
Akibat tingkahku yang sangat nakal ini, akhirnya ayah pun lelah dan membebasaskanku. Ia membiarka apa pun yang ingin ku lakukan, termasuk aku yang tidak ingin sekolah.
Hari itu ada seorang gadis pidahan tinggal di desa sebelah. Namanya indah, kata orang ia gadis yang cantik, baik hati dan ramah pada orang. Akhirnya aku pun penasaran dengan gadis itu, masa iya gadis itu sangat sempurna, sehingga banyak teman-temanku yang suka padanya.
Saatku datang ke rumah Rino yang letak rumahnya tidak jauh dari gadis itu, bahkan rumahnya bisa terlihat dari depan rumah Rino. Aku melihat gadis itu biasa saja, tidak secantik yang teman-temanku bilang.
Sampai usia Sembilan belas tahun ini aku belum pernah merasakan benar-benar jatuh cinta pada seorang gadis. Aku lebih mementingkan bermain dan berkumpul dengan teman-teman lelakiku saja.
Temanku Rino itu sangat menyukai gadis itu, hampir setiap hari ia menceritakan tentangnya. Tetapi temanku yang lain bilang gadis itu tidak menyukai Rino, karena ia bilang Rino itu lelaki yang pendiam dan membosankan. Saat datang kerumah gadis itupun, Rino lebih banyak diam.
Suatu malam aku diajak Rino ke rumah gadis itu, karena Rino tidak berani datang sendiri kerumah gadis itu. Saat bertemu gadis itupun Rino tidak banyak bicara sambil tersenyum malu. Sedangkan aku yang baru pertama kali bertemu dengan gadis itu selalu menggodanya dengan candaan.
Karena aku ini mudah sekali bergaul dengan siapa saja, dan aku juga bisa langsung akrab dengan orang. Sedangkan Rino, ia masih dengan gayanya yang malu-malu.
Dari situ kami berdua mulai merasa cocok berteman, kami pun saling bertukar nomor handphone. Hampir setiap hari kami telpon dan sms, kami menceritakan kepribadian kami masing-masing, tapi itu semua hanya sebagai teman. Karena aku tahu temanku suka padanya.
Awalnya perasann ini hanya sebagai teman saja, tapi lama kelamaan perasaan yang awalnya hanya sebagai teman, kini berubah menjadi cinta. Perasaan ini timbul dari banyak kesamaan yang kami miliki, dan aku pun merasa nyaman dengan gadis itu. Rasa ini rasa yang belum pernah aku alami sebelumnya.
Setelah kami mulai sering bertemu dan jalan bersama, perasaan cinta ini semakin mendalam. Akhirnya aku memberanikan diri untuk menyatakan cintaku padanya. Walau sebenarnya aku takut kalau Rino tahu ia bisa marah, sebab Rino juga sangat menyukai gadis ini.
Akhirnya Indah pun menerima cintaku, karena ia juga merasakan hal yang sama padaku. Kami merajut cinta dengan diam-diam, karena kami tidak ingi Rino mengetahui hubungan kami.
Akhirnya suatu hari Rino mengetahui hubungan kami, dan ia marah sekali padaku. Tapi setelah aku dan indah menjelaskan perasaan kami yang saling mencintai, Rino pun merelakan aku berpacaran dengan indah.
Masalah tidak berhenti sampai di situ, setelah Rino merestui hubungan kami. Sekarang orang tua indah yang tidak merestui hubungan kami.
Orangtua indah tidak merestui hubungan kami dengan alasan aku ini tidak baik untuk indah. Ayahnya banyak mendengar dari tetangga bahwa aku ini anak yang nakal, sekolah SMA saja tidak lulus. Aku ini hanya anak yang bisanya merepotkan orang tua saja. Bagaimana bisa aku berani mencintai anak gadisnya.
Karena kami saling mencintai akhirnya kami menjalani cinta diam-diam lagi agar orangtua indah tidak mengetahui hubungan kami. Walau kami sudah menjalani ini diam-diam tetapi orang tua indah tetap saja bisa tahu. Indah selalu dimarahi saat habis bertemu denganku. Sebenarnya aku tidak tega bila tahu indah dimarahi orang tuanya.
Akhirnya aku memutuskan untuk menjauh dari indah untuk sementara waktu. Dan harus menahan rasa rindu untuk bertemu dengannya.
Aku pun pergi merantau ke tempat teman yang ada di daerah citayam. Di daerah sana lumayan dekat dari kota Depok. Aku ikut membantu teman yang membuka usaha warung bakso dan mie ayam.
Awalnya aku merasa lelah bekerja seperti ini, karena dari kecil aku tidak pernah merasakan bekerja, apalagi pekerjaan di tempat ini rasanya aku seperti pembantu. Aku harus melayani orang makan, dan mencuci piring bekas makan orang. Padahal waktu dirumah aku tidak pernah mencuci piring bekas makanku sendiri.
Lama-kelamaan aku pun melai mahir dalam usaha ini, aku sudah bisa membuat bakso dan menyiapkan mie ayam sendiri. Uang dari gajiku mulai ku tabung, dalam dua tahun akhirnya aku sudah bisa membuka warung bakso sendiri.
Awalnya usahaku tidak terlalu maju, mungkin karena belum banyak orang yang tahu tempatku ini. Akhirnya satu tahun belakangan warungku sudah sangat ramai. Aku pun bisa membayar dua orang karyawan untuk membantuku di warung.
Tidak sampai waktu tiga tahun  aku sudah memiliki cabang warung bakso yang baru. Bisa di bilang sekarang aku lumayan sukses.
Merasa sudah cukup mapan, akhirnya aku datang kembali ke rumah indah untuk menemui orangtuanya. Aku ingin melamar indah dan membuktikan bahwa sekarang aku sudah bisa bertanggung jawab dan pantas untuk  indah.
Saat bertemu kembali dengan ku ayah indah tidak langsung menerima lamaranku ini. Ia belum percaya bahwa aku telah berubah dan bisa menghidupi anak gadisnya.
Lama-kelamaan akhirnya ayah indah menyadari bahwa sekarang aku bukan Raja yang dulu, yang sering dibicarakan orang banyak. Aku bukan anak yang suka mabuk-mabukan, aku juga bukan anak yang bisanya hanya meminta kepada orangtua saja. Tapi sekarang aku Raja yang mandiri dan memiliki usaha sendiri.

Kado Terakhir

oleh : Dessy Susanti


Kado Terakhir
            Setiap hari di pekampungan ku terdengar suara yang sangat ramai, begitu juga pagi ini. Bremmm.. bremmm.. brakkk ! Suara mobil sampah itu datang untuk menurunkan sampah-sampah yang di ambil dari tempat sampah perumahan yang ada di Jakarta.
            Aku dan masyarakat sekitar kampung ini langsung berkumpul seperti biasa untuk mencari barang-barang bekas yang masih dapat digunakan dan dapat dijual. Seperti sampah plastik, botol-botol bekas dan barang-barang yang sudah dibuang dan tidak terpakai oleh pemiliknya. Bagi kami sampah-sampah ini adalah barang yang sangat berharga, karena dari sampah ini kami dapat makan dan tetap bisa hidup.
            Sekitar sepuluh tahun yang lalu, kata ibu sebenarnya kehidupan kami tidak seperti ini. Keluarga kami tinggal di sekitar pasar dekat pinggir kota. Kami memiliki toko sembako, mulai dari beras, minyak goreng, susu, dan berbagai macam barang pangan untuk kebutuhan dapur. Dan ayah pun bekerja di sebuah kantor swasta.
            Dari gaji ayah bekerja dan keuntungan toko keluarga kami dapat hidup dengan sangat layak dan berkecukupan. Tetapi bumi ini memang berputar, malam ini keluarga kami terkena musibah. Toko dan rumah kami habis dilalap si jago merah.
            Saat ayah ingin menyelamatkan barang-barang berharga dari dalam rumah, tubuh ayah tertimpa kayu yang diselimuti oleh api. Tangan ayah pun terluka dan barang-barang kami pun tak dapat diselamatkan.
            Akibat kebakaran yang menimpa keluaraga kami semua barang dagangan dan rumah kami habis terbakar, dan tangan kanan ayah pun cacat akibat luka bakar. Dengan kondisi ayah yang seperti itu, perusahaan pun memberhentikan ayah dari kantor. Dan memberikan pesangon yang tidak seberapa.
            Akhirnya kami menjual tanah bekas rumah kami, karena di daerah ini kami merasa masih ada luka hati dan trauma yang masih membekas.
            Uang dari penjualan tanah dan pesangon dari perusahaan ayah kami gunakan untuk membangun rumah kembali dan membuka usaha toko baru. Tapi usaha kami di sini tidak terlalu bagus, akhirnya ayah meminjam uang untuk modal pada bank. Tetapi usaha kami semakin lama semakin merugi. Bunga uang  pada bank pun semakin besar, karena kami tidak sanggup membayarnya akhirnya rumah kami pun di sita.
            Sekarang keluarga kami sudah tidak memiliki apa-apa lagi, dan kondisi fisik ayah juga tak sempurna seperti dulu, tak ada perusahaan satu pun yang mau menerima ayah sebagai pegawai di kantor mereka, dengan alasan mereka membutuhkan karyawan yang cepat. Dengan kondisi ayah seperti ini mereka menganggap kerja ayah pasti tidak optimal dan hanya membuang-buang waktu saja.
            Sedangkan ibu tidak dapat berbuat apa-apa, sebab ibu hanya lulusan SMA saja, dan ibu tidak memiliki pengalaman kerja sama sekali. Ayah tidak mau meminta pertolongan dari saudara-saudaranya, sebab saudara mereka juga hanya hidup sederhana dan ayah tidak mau merepotkan dan membebankan masalah ini pada saudaranya.
            Tidak ada pilihan lain dan akhirnya keluarga kami pindah ke daerah kumuh ini, sebenarnya ayah juga tidak tega membawaisteri dan anak-anak untuk tinggal di daerah kumuh ini. Tapi semua ini harus tetap kami jalani dengan sabar dan ikhlas.
            Setiap hari ayah mencari barang-barang bekas di tempat ini, kadang-kadang ayah juga mencari sampah di sekeliling kampung sebelah. Sedangkan ibu di rumah hanya menjaga adik yang baru berumur lima tahun.
            Saat duduk di bangku sekolah kelas 3 SD, aku berhenti dari sekolah. Karena kondisi ayah sekarang kurang baik dan ayah juga sering sakit-sakitan. Aku pun tidak tega melihat ayah yang seperti itu, dengan kondisi fisik yang kurang sempurna ia harus banting tulang untuk menafkahi kami sekeluarga hanya seorang diri.
            Hari demi hari ku lewati ini dengan sabar dan semangat, terkadang aku malu pada teman-teman sebayaku. Aku yang saat itu baru berumur sembilan tahun, aku harus berhenti sekolah dan harus bekerja mencari barang-barang bekas agar tetap hidup dan tidak kelaparan.
            Satu minggu lagi umurku sebelas tahun, sejak berusia satu tahun aku sudah merasakan kesusahan. Sejak musibah itu terjadi aku tidak pernah mendapatkan barang-barang bagus dan mahal. Bahkan aku juga tidak pernah mendapatkan kue dan kado saat ulang tahun.
            Tapi tahun ini tidak seperti biasanya, ayah bilang saat ulang tahun nanti ia akan membelikan aku sepeda. Betapa terkejut dan senangnya saat ayah berkata seperti itu. Aku tidak pernah berpikir untuk meminta hadiah pada ayah, karena aku sadar dengan kondisi keluargaku saat ini.
            Hari ini Rabu 9 November 2009, tepat umurku Sembilan tahun. Ayah mengajakku pergi ke toko sepeda bekas yang ada di pinggir pasar, walau aku tahu ayah hanya dapat membelikan sepeda bekas, tetapi hatiku tetap sangat senang sekali. Karena ini akan menjadi kado pertamaku sejak pindah ke kampung ini.
            Saat sampai di toko sepeda aku dipersilahkan oleh ayah untuk memilih sepeda mana yang aku suka. Aku pun melihat-lihat semua sepeda yang ada di sini. Walau sepeda di sini tidak baru, tetapi masih cukup bagus dan yang paling penting dapat di gunakan.
            Setelah memilih sepeda ayah pun langsung membayar sepeda ini. Lalu ayah berkata “kamu tunggu di sini sebentar ya, ayah mau membeli rokok di warung di seberang jalan”, aku pun hanyan mengangguk dan tersenyum.
            Saat aku sedang memperhatikan satu persatu sepeda milikku. Mulai dari ban, sampai rem ku perhatikan dengan teliti semua. Ku usap badan sepada yang berwarna hijau muda ini sambil tersenyum.
Tiba-tiba terdengar suara ” jegerrrrr…..! ”, terdengar suara tabrakan. Aku pun langsung menengok ke belakang. “Ayah.. “,  aku langsung berlari menuju tempat tabrakan itu terjadi, dan aku tak menghiraukan sepeda yang tadi sedang ku perhatikan.
Ternyata benar ayah ku yang terkena musih itu, ia tertabrak truk yang sedang melaju cepat, ia tidak melihat truk itu saat ingin menyebrang jalan. Nyawa ayah pun tidak dapat di selamatkan, ia langsung meninggal di tempat.
Dua hari setelah ayah meninggal paman pemilik sepeda datang ke rumah, ia datang untuk mengantarkan sepeda yang ku tinggalkan di tepi jalan. Melihat sepeda itu aku merasa senang, tetapi aku juga benci. Karena dari sepeda itu aku kehilangan ayah yang sangat ku cintai. Tapi ini adalah barang pembelian ayah ku yang terakhir, jadi aku harus menjaganya.
Sekarang aku menjadi tulang punggung keluarga, Karena setelah kepergian ayah, tidak ada lagi yang mencari nafkah di rumah ini. Dan aku pun menggantikan pekerjaan ayah sebagai pemulung !