BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Senin, 30 Januari 2012

anak kecil di bawah pohon beringin

Nama         : Afrizal  Zainudin          
Jurusan     : Sastra  Indonesia
NIM           : 2009070008
                                              
            

Di bawah pohon beringin, Maria masih menunggu mama sejak pulang sekolah sampai sore. Seragam putih merah masih melekat di tubuh mungilnya, matahari menyinari pelataran Bumi Allah dengan cahaya kuning. Bayangan kelam pohon beringin meneduhkan si kecil. Lalu-lalang kendaraan yang mengepulkan asap pekat bukan persoalan bagi Maria. Debu menderu terpingkal menerjang, bukan masalah baginya untuk tetap setia menunggu sampai mama pulang….
Hangat cuaca. Angin mendesir. Dedaunan kuning kering jatuh ibarat salju berguguran di musim dingin. Orang-orang berhamburan meramaikan pinggir jalan. Aroma parfum wangi-wangi beraneka. Ada karnaval di alun-alun kota yang terletak di seberang jalan. Sebentar lagi parade orang-orang dengan kostum warna-warni akan menyesakkan jalanan. Maria… sama sekali tidak tertarik dengan semua itu, padahal anak-anak seusianya ramai berduyun dituntun oleh orang tua mereka menyesaki alun-alun kota. Namun Maria masih setia menanti , sampai mama pulang.
Setiap hari, segala sesuatu terus berjalan sebagaimana biasanya. Maria menunggu mama, sampai jam menunjukkan pukul 16.00 atau lebih, kemudian sebuah angkutan umum berhenti di pinggir jalan di dekat pohon beringin. Disusul dengan keluarnya seorang ibu muda dari dalam angkutan umum. Mata teduh Maria menerjang lembut, ditumbuhi bulu mata lentik lebat. Sekulum senyum menyeruak dari bibir mungilnya, ketika mamanya menjulurkan tangan menantang Maria. Ia berlari tanpa pertimbangan, memburu tantangan mamanya. Wajah mamanya begitu sumringah, gurat cantik namun lelah begitu nyata terlukis kuat. Angin senja menggeraikan rambut panjangnya, stelan pakaiannya sederhana, kemeja putih lengan panjang kolaborasi dengan celana panjang hitam . Kulit wajah putih tersirami cahaya keemasan, menggurat senjakala dalam dirinya…
“Mama… datang….Mama datang….!” Teriak  Maria memburu Melinda. Beberapa orang tersenyum menyaksikan adegan tersebut.
Melinda memeluk erat tubuh anaknya, rajutan kasih sayang yang begitu kokoh dari tangannya. Mengangkatnya. Menciumi pipinya.
” Mari kita pulang, sayang…”
” Maria mau menunggu papa dulu, Mama…” Ucapnya tulus dan agung.
Mata Melinda berkaca-kaca. Mungkin hatinya tersayat.
” Maria… Papa masih bekerja, sayang… Kita tunggu saja di rumah, yuk!”
Mata sayu anak kecil itu semakin teduh. Antara mengerti dan tidak…Hingga Melinda memeluk Maria. memangkunya pergi lalu pulang.
Malam hari.
Di luar rumah, cuaca cerah. Gemintang bertaburan di langit tegas tanpa awan. Rumah-rumah berwarna keperakan, bermandikan cahaya rembulan. Purnama menerjang, angin malam musim kemarau berhembus, memeluk setiap pohonan, kering dan dingin. Pemukiman penduduk semi kumuh tergambar jelas. Rumah-rumah sederhana gemerlap dengan cahaya lampu lima watt. Irama-irama dangdut, lagu-lagu putus cinta, harapan yang kandas, patah hati, remix, pop, dan rock larut dalam aroma bising, keluar dari rumah-rumah melalui jendela setengah tertutup. Para lelaki duduk tercenung di teras rumah sambil menikmati secangkir kopi pahit. mengisap rokok kretek lintingan sendiri. Aroma tembakau murahan tercium meriah, menyengat apek, sering sekali bau tidak sedap tercium, berasal dari selokan sebelah Barat. Kemarau telah menyulap selokan menjadi ular berbisa yang menyimpan segala sesuatu di luar jangkauan nilai estetis. Ah… masa bodoh dengan semua itu. Lagu dangdut, dan hisapan rokok kretek murahan adalah nilai lebih bagi mereka. Malam harus diisi dengan suka cita meskipun siang hari mereka isi dengan keluhan dan pertempuran melawan ganasnya gelora zaman.
Melinda selalu merasakan semua itu. Sejak pindah rumah ke tempat itu. Awalnya gerah, namun lama-lama juga menjadi terbiasa. Dia selalu tahu, tengah malam nanti sampai menjelang subuh, suara gitar berbaur dengan nada bariton para pemuda berdendang berkumandang. Disempurnakan dengan bunyi ember yang dipukul-pukul sebagai pelengkap indahnya alunan musik murahan namun meriah.
Dia menatap wajah Maria yang tergolek di atas pembaringan. Wajah polos anaknya begitu berarti di mata Melinda. Bocah polos yang selalu setia menunggu kepulangannya. Didekatinya Maria. Ditarik selimut, menutupi sekujur tubuh anaknya. Diusap rambut ikal anaknya, lalu dikecup keningnya.
“ Lihatlah Roy!” Gumam Melinda. “ Anak kita sudah sebesar ini… Kamu ke mana saja Roy ?” Ada air mata menitik dengan berat.
Melinda membuka-buka buku anaknya. Dalam pikirnya, Maria sangat cerdas. Nilai-nilainya pasti akan membuat beberapa teman sekelasnya iri kepadanya. Terutama di bidang pelajaran mengarang. Anaknya selalu menulis karangan, temanya itu-itu juga, tentang Papanya.. Kartu SPP diperiksa,” Sudah tiga bulan….” Ucapnya lirih. Beberapa surat tagihan dari pihak sekolah. Ia membacanya. “ Mama pasti berjuang demi masa depanmu Maria…”
Dalam benaknya timbul pikiran. Tidak cukup hanya mengandalkan bekerja di pabrik tekstil yang pengap dan kotor untuk menciptakan masa depan anaknya. Gajinya kecil hanya lima ratus ribu rupiah perbulan, habis terkuras untuk bayar sewa kontrakan dan makan sehari-hari.
“ Aku harus kerja sampingan…”
Pada diri Melinda tersimpan Roy. Seorang lelaki pengecut yang menjanjikan harapan namun nyatanya gombal dan getir. Segalanya kandas. Namun ia percaya, bahwa harapan masih terus bisa dicipta oleh siapa pun, kapan pun dan dimana pun. Orang akan senantiasa bisa membuat surga, kendatipun ia hanya seorang ibu muda lemah. Tidak selamanya setiap lelaki bisa menjelma menjadi manusia sejati. Justru keperkasaan yang sesungguhnya selalu tercipta dari diri seorang wanita…
“Sebaiknya dipikirkan dengan matang, Mel!” Kata ibu sambil menatap wajah Melinda ,” pernikahan beda keyakinan itu sangat riskan…” Lanjut  ibu setengah bergumam. Raut wajahnya pucat dan murung .
Bapak duduk terdiam, menatap udara, jauh dan kosong. Baginya, keinginan anaknya teramat melampaui batas angan siapa pun..
“ Percayalah, Bu, Pak. Mas Roy itu orang baik…”
“ Kami sebagai orangtua, hanya mewanti-wanti saja, jangan sampai ada penyesalan pada akhirnya nanti, Mel.” Air mata mulai menggelayut di kelopak mata Ibu.
“ Melinda siap menanggung segala resikonya, Bu..”
Ibu memeluk erat Bapak, air matanya menguyur dada bapak, ketika bapak larut dalam emosi yang hampir tak terkendali, kesal, marah, dan menyesal. Namun tidak dapat dikeluarkan.
Dan pada akhirnya, Melinda pergi bersama Roy, menikah di tempat yang jauh dari kedua orang tuannya. Melinda tahu, Ibu dan Bapak sering duduk terdiam sambil menatap jalan tak berujung setelah pernikahan dirinya dengan Roy. Air mata kerap bercucuran , keluar dari sudut mata Ibunya.Tapi dia tidak mau menemui kedua orang tuanya. Melinda melupakan semuanya.
Sampai pada suatu ketika, satu sore di musim kemarau. Ketika debu-debu berterbangan dan dedaunan kering kerontang menggeliat di bawah terik mentari ia menjumpai sebuah surat tergeletak di atas meja. Roy, suaminya memberitakan pulang ke kampung halamannya  di daerah Timur, tanpa menceritakannya terlebih dahulu. Bagi Melinda, jelas keputusan itu adalah sebuah tikaman. Telak menusuk dadanya. Dia hanya bisa mengepal kepedihan, tanpa mau bereaksi. Waktu itu usia Maria baru menginjak 4 bulan.
“ Ibu…” Bisik Melinda, “ Bapak…”
Namun dia tidak mau menemui kedua orangtuanya, mungkin malu…pada dirinya sendiri.
Melinda menyimpan satu lembar uang sepuluh ribu rupiah dan secarik kertas berisi pesan untuk Maria di atas meja. Ia bergegas meninggalkan rumah menuju tempat kerja. Wangi melati semerbak membelah udara dingin pagi di musim kemarau. Matahari juga belum menggeliat.
Sesaat setelah Melinda pergi. Anak kecil yang masih duduk di bangku SD kelas 3 keluar dari kamarnya. Menyibakkan tirai penutup pintu. Ia mencari-cari. Wajahnya lesu tapi ada binar bahagia, mungkin ia baru bermimpi bertemu dengan harapannya, dengan orang-orang yang selalu dirindukannya selama ini. Langkahnya masih menandakan bahwa dirinya masih mengantuk, sempoyongan. “ Mama telah pergi…” Bisiknya.
Ia duduk mengambil secarik kertas di atas meja., kemudian di ejanya, satu-satu. “ Mama tidak ingin mengecewakan masa depanmu, Maria. Mama akan kerja sampingan sampai malam. Maria tidak usah menunggu mama di bawah pohon beringin itu…”
Anak kecil itu telah menjadi orang dewasa sejati. Dalam dirinya telah tumbuh kemandirian alami. Mandi, ganti pakaian, berdandan, membeli nasi kuning di Warung Soimah untuk sarapan. Dilakukan sendiri. Orang-orang, bahkan seluruh isi dunia tahu akan hal ini..
Tapi sepulang sekolah sampai sore, Maria tetap melakukannya juga. Ia begitu setia dan tulus menunggu kepulangan mamanya di bawah pohon beringin. Kesabaran terlukis dalam dirinya. Matanya memancarkan kilau keyakinan yang teguh bahwa suatu saat nanti orang-orang tercinta akan datang kepadanya.
Hal ini terus berlangsung sejak Melinda mendapatkan pekerjaan tambahan. Mereka menjadi jarang bertemu. Melinda hanya bisa menatap wajah Maria ketika anaknya telah tergolek di atas pembaringan. Ia tidak ingin membangunkannya, ia tidak ingin mengganggu mimpi indah anaknya. Namun.. cita-cita masih tetap menggurat di garis asa diri Melinda,” Dengan cara apa pun aku harus menciptakan masa depan anakku!” keyakinannya begitu kuat.
Dioleskannya gincu di bibir tipisnya sebelum ia keluar rumah. Uang SPP, uang Buku, dan tetek-bengek keuangan lainnya diletakkan di atas meja, seperti biasanya. ia tidak bekerja di pabrik tekstil lagi. Tuan Rizal telah menunggu di depan rumahnya. Mobil mercy hitam mengkilap, padahal hari masih pagi dan alam masih terlelap dalam dingin. Melinda bergegas membuka pintu mobil, senyum hambar terkuak. Tuan Rizal menyambut dengan seutas senyum penuh kemenangan.
Maria masih setia menunggu kepulangan mamanya di bawah pohon beringin. Matanya berkaca-kaca sering melelehkan air mata yang menganak sungai di pipi mulusnya. Betapa di dalam dirinya ada harapan besar yang terus tercipta.
Hari hampir maghrib. Kepak kelelawar telah menggema. Lembayung menggurat di ufuk Barat. Maria masih mematung. Air matanya bening, semakin berlinang.
Seseorang mendekati anak itu. Digendongnya, sedangkan Maria memeluk erat pundaknya seakan telah menemukan harapannya yang ia cari selama ini. Mereka bergegas menuju ke rumah orangtua Melinda, tanpa banyak bicara. Orang itu akan membawa Maria untuk menemui kedua eyangnya, kakek dan neneknya yang masih terbaring dalam kepedihan. Tapi…air mata Maria menerjang punggung orang itu. Hangat dan basah. Sampai… air mata menitik di sudut matanya….

0 komentar: