BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Minggu, 15 Januari 2012

KEKAGUMANKU

Oleh : Senandu Zanuar Biru


Ketikaku buka jendela, ku melihat Pagi yang indah. Dikala terdengarnya kicauan burung, bagaikan nyanyian yang merdu. Pepohonan yang rindang, seakan-akan bergoyang-goyang tertiup angin yang sejuk. Satu hari sudah ku berada di rumah Puun. Puun yaitu sebutan nama untuk pimpinan dari suku Baduy. Ya, aku dan teman-teman sedang berada di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Di sini kami akan berlibur dan ingin mengenal suku Baduy yang lebih dikenal suku Orang Kanekes. Karena suku ini sangat terkenal akan tradisinya.
Teringat kemarin saat perjalanan menuju Suku Baduy ini, badanku terasa remuk.  seharian  ku telusuri jalan setapak melintasi bukit-bukit, sungai, dan beberapa perkampungan.  Tetapi keletihan ku pun memberikan hasil yang cukup puas, karena aku sekarang sudah berada di kampung Cibeo, suku Baduy. Tetapi kemarin sebelum memasuki kampung ini aku dan teman-teman harus mematuhi semua adat atau larangan yang diberlakukan dalam Suku Baduy.
Sebenarnya larangan yang harus dipatuhi ini sangat membuatku kecewa, karena larangan di dalam suku Baduy ini tidak boleh membawa kamera atau pun alat elektronik lainnya dan kami pun tidak diperbolehkan untuk memakai alas kaki seperti sandal atau pun sepatu. Ada hal yang membuatku kaget, dalam suku baduy tidak boleh memakai baju dan celana yang modern seperti sekarang. Hmmm, kami pun harus berganti pakaian dengan mengenakan kain yang berwarna hitam atau putih dan tidak boleh berkerah atau pun berkancing. Untunglah Puun mempunyai persediaan pakaian Baduy, jadi kami bisa meminjamnya saat kami berada disini.
Ternyata dalam hal berpakai pun tetap saja mempunyai aturan. Benar-benar membuatku ingin kembali pulang. Tetapi aku harus turuti peraturan disini, karena semuanya harus serba alami tanpa mengikuti perkembangan jaman seperti sekarang ini. Ya, cukup ketinggalan jaman juga si menurut ku, tetapi inilah kehidupan Suku Baduy, yang masih menggunakan cara tradisional dan harus mengikuti aturan yang sudah ditentukan. Kata Puun Jika salah satu dari kami melanggar aturan, kami akan kena akibatnya yang sering disebut dalam suku baduy adalah kuwalat. Waw, sangat menyeramkan.
Ketika aku sedang mengingat perjalanan kemarin, tiba-tiba Puun memanggilku dan teman-teman yang lainnya. Aku dan teman-teman diajak pak Puun untuk melihat cara menenun. Aku pun mencobanya, dan menanyakan nama alat yang digunakan menenun, kata wanita yang sudah setengah baya itu yang kami panggil ibu Mina, alat ini adalah alat tenun gendong yang disebut pakara. Kami disini diajarkan banyak hal tentang menenun, terutama aku sangat senang bisa belajar menenun di suku Baduy ini.
Matahari sudah mulai tinggi. Perut aku pun sudah memberi isyarat, bahwa aku harus segera makan. Aku pun menyudahi membuat kain tenunku untuk segera makan. Ternyata Puun dan istrinya sudah menyiapkan kami makanan yaitu Buras Baduy. Buras Baduy adalah makanan khas suku Baduy. Dengan rasa penasaran aku pun langsung menanyakan kepada Puun. “Puun Buras Baduy ini terbuat dari apa?” Tanyaku sembari mencicipi makanan khas Baduy ini. “Buras Baduy ini terbuat dari beras ketan yang dicampur dengan santan kemudian diaron lalu diberi sedikit garam, kemudian dibungkus daun pisang dan dikukus sampai matang.” Jawab Puun. Untunglah Puun bisa menggunakan bahasa Indonesia, karena sebagian dari kampung ini berbahasa Sunda. Emmm, rasa buras Baduy ini begitu gurih dan pulen. Ternyata seperti ini makanan khas Suku Baduy...
Selesainya kami menyantap makan siang dirumah Puun, kami pun ingin pergi berkeliling kampung Cibeo. Kata Puun di dekat sini ada sungai, kami pun ingin melihat dan bermain air di sungai yang diantarkan dengan anaknya Puun yang bernama Didi. Ternyata kata Didi nama Baduy ini diambil dari nama sungai yang akan kami tuju yaitu sungai Cibaduy. Sesampainya kami di sungai Cibaduy, kami pun bermain air dengan gembira. Aku pun duduk di tepi sungai memandang begitu indah dan sempurna pemandangan ini.
Matahari sudah mulai terbenam, kami pun bergegas untuk kembali ke rumah Puun, karena kami semua menginap di rumah Puun. Kami melewati jembatan yang terbuat dari bambu-bambu yang tersusun rapi memanjang dan diikat dengan tali pengikat dari rotan untuk memperkuat jembatan ini.
Sesampainya kami di rumah Puun, aku melihat sangat ramai di dalam rumah Puun. Ternyata Sore ini akan diadakan Upacara menanam padi yang dilakukan dengan diiringi angklung buhun sebagai penghormatan kepada dewi sri lambing kemakmuran. Aku pun dan teman-teman tidak sabar untuk melihat Upacara ini. Tiba saatnya memulai upacara ini, penduduk kampung Cibeo ini berkumpul. Semua masyarakat berbondong-bondong berbaris masing-masing membawa sesajen dan diiringi alunan musik angklung yang merdu. Kami pun turut berkumpul mengikuti upacara menanam padi. Kata Puun, Upacara ini dilakukan Sebelum mulai menanam padi, penduduk disini mengadakan upacara untuk memuji Dewi Sri, yang dikenal sebagai dewi padi, agar melindungi tanah mereka. Dalam upacara ini, ada mantra-mantra yang diiringi alunan angklung dan kendang kecil. Pemain angklung bertugas membacakan mantra. Upacara ini wajib diadakan di setiap kampung.
Aku sangat terpesona melihat kemakmuran dalam lingkungan suku ini. mereka saling bergotong royong untuk melakukan upacara ini. Kebersamaan yang sangat jarang aku lihat di Kota, seharusnya penduduk Kota mencontoh suku ini, dengan nilai moralnya yang begitu manajubkan.
Suasana membaur menjadi ramai. Kami menari-nari sesuka hati saat upacara telah selesai, semua tertawa gembira melihat salah satu dari teman kami memperlihatkan keahliannya menari. Guntur memperlihatkan kepiaawaiannya dalam dance, dan Guntur pun mengajak penduduk untuk mengikuti gaya yang ia tunjukkan. Kami  semua bergembira, karena kelucuan yang kami lihat dari penduduk suku ini.
Hari sudah semakin gelap kami pun dan penduduk yang lainnya mengakhiri kegiatan dance kami. Semua serempak mennuju rumahnya masing-masing. Aku pun bergegas segera kerumah Puun dan segera mandi, aku baru mengetahui aturan mandi disuku Baduy. Bahwa kita tidak boleh memakai sabun atau pun pasta gigi, itu sudah menjadi aturan.Ya, karena suku ini menggunakan yang alamiah saja. Begitu kata Puun. Aku pun mandi hanya menggunakan air dan tidak memakai sabun. “Hmm, apakah bersih mandi seperti ini ?” Tanya dalam benakku.
Sesudah mandi aku dan kateman-teman kembali berkumpul di ruang tengah rumah Puun. Kami pun dihidangkan makan malam, tak lama Andi langsung bergegas melahap makanan yang sudah di hidangkan oleh istri Puun. Sangat rakus sekali temanku yang satu ini, sangat memalukan di depan Puun. Tetapi kami tertawa melihatnya, saat Andi berkata, “Perutku sudah keroncongan tau!” Dengan nada yang agak sedikit sinis. Kami semua sangat lahap menyantap makanan ini, walaupun hanya sayur dan ikan yang dihidangkan.
Ketika kami sedang menikkmati makan malam, tiba-tiba ada seorang berteriak memanggil Puun. “Puun,,Puun,,Puun,,,”. Segera mungkin Puun pun bangun dari duduknya dan menghampiri teriakkan itu.
“Aya naon ieu ?” Tanya Puun dengan kaget.
“Itu kambing urang aya nu nyokot Puun ?” Jawab Pak Suko dengan cemas.
            Aku dan teman-teman keluar dan ingin mengetahui apa yang terjadi. Kata Guntur yang mengerti bahasa Sunda itu artinya bahwa kambing Pak Suko ada yang curi. “ Haaah !” Kami pun kaget mendengarnya. Ternyata disini juga ada pencuri, aku pun tak percaya. Kemudian Puun pun mengumpulkan penduduk untuk menanyakan apakah ada yang melihat kambing Pak Suko. Tetapi mereka semua tidak melihat. Lalu kami dan para penduduk berkeliling kampung dan mengecek satu persatu rumah penduduk untuk melihat ternak mereka. Saat pencarian berlangsung aku mendengar suara kambing tak jauh dari tempat aku berdiri, kira-kira 8 meter dari semak-semak rerumputan yang berada disudut kanan. Aku pun meminta Guntur menemaniku untuk menhampiri suara kambing itu, aku pun melihat seseorang yang sedang memegang tali. Semakin aku dan Guntur dekati orang itu berlari, aku pun serentak berteriak, “Maling..maling...”. Semua penduduk menhampiri suara teriakkanku, lalu segera mengejar pencuri itu, semua berpencar untuk mengepung pencurinya. Pencuri itu meninggalkan kambing yang ia ambil dari kandang Pak Suko di Semak rumputan. Aku dan Guntur membawa kambing itu ke rumah Puun untuk diijadikan bukti. Beberapa lama kemudian Puun dan penduduk lain berhasil menangkap pencuri. Puun pun mengadili pencuri itu, Kenapa ia bisa sampai mencuri kambing Pak Suko? Padahal suku ini sudah ditentukan aturan bahwa yang melanggar aturan yang ada. Akan mendapat Kuwalat atau hukuman. Pencuri itu pun yang mendapatkan hukuman dan diberi peringatan. Selain itu pencuri mendapat peringatan berat, ia akan dimasukan ke dalam lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat. Tanpa pikir lagi pencuri itu pun diantarkan ke rumah tahanan adat untuk menjalani hukuman yang telah ia langgar.
Aku pun dengan penasaran bertanya kepada Puun. “Puun, untuk berapa lama pencuri itu harus menjalani hukumannya?” Tanyaku. “Ia akan menjalani hukuman selama 40 hari berada dirumah tahanan adat, jika hampir bebas akan ditanya kembali apakah dirinya masih mau berada di Baduy Dalam atau akan keluar dan menjadi warga Baduy Luar.” Jawab Puun dengan teggas. Hukuman yang masih ringan menurutku, tetapi aturan yang sudah ditetapkan sangat berlaku sekali dan tidak bisa ditawar.

0 komentar: