BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Senin, 30 Januari 2012

IBUKU SAYANG

Nama       : Afrizal  Zainudin
Jurusan   : Sastra Indonesia
NIM         : 2009070008

                                         
IBUKU SAYANG


Aku panik begitu usai menerima telpon dari Tukul, adikku di desa. Ia bilang bahwa ibu kami akan di gugat ke pengadilan oleh Paman Bejo. Pasalnya, delapan tahun silam Ibu meminjam serifikat rumah Paman Bejo untuk jaminan mengambil kredit di bank. Karena angsurannya tak beres, pihak bank akan menyita rumah Paman Bejo. Tentu saja Paman tak bisa terima, dan akan menuntut Ibu kalau hal itu sampai terjadi. Tukul mengaku kaget karena ia baru mengetahuinya sekarang.

Aku terpukul. Bukan saja karena Ibu yang janda itu akan di gugat di pengadilan, tapi lebih karena tindakan Ibu itu semata-mata demi diriku. Sekarang aku baru tahu dari mana Ibu dulu mampu membiayai kuliahku.

"Itu tidak boleh terjadi, Mas," kata Surti, perempuan yang baru dua bulan kunikahi ini. Ia memintaku harus segera menyelamatkan Ibu.

"Tapi dari mana kita dapat uang, Sur? Jumlah utang Ibu enam puluh juta rupiah!"

"Jual semua yang ada," jawab istriku. Aku merasa kagum pada istriku. Ia siap berkorban demi keselamatan ibu mertuanya.

Aku terkenang saat Ibu memompa semangatku agar aku siap melanjutkan sekolah. "Kamu harus bisa jadi sarjana. Ijazah SMA tak akan berarti apa-apa," tutur Ibu.

"Saya tak mau memberatkan beban Ibu."

"Ibu punya simpanan hasil warisan mendiang ayahmu. Kamu tak usah pikirkan itu."

Aku heran, sebab setahuku Ayah tidak mewariskan apa-apa kepada kami. Sekarang, delapan tahun kemudian, keherananku terjawab. Ternyata Ibu meminjam sertifikat rumah Paman Bejo, adik sepupu Ayah, untuk pengambilan kredit di bank. Hasil pinjaman itu di deposito, dan di ambil demi sedikit untuk biaya kuliahku.

Atas sepak terjang Ibu yang bagai kuda itu, diam-diam muncul niatku menebus jerih-payahnya sekadar upaya balas budi begitu setelah aku berhasil jadi sarjana dan mendapat pekerjaan. Tapi, setelah berhasil bekerja pada sebuah perusahaan besar di Jakarta, seluruh perhatianku tercurah untuk segera menikah.

"Kita harus bertindak," kata istriku. "Kita tidak bisa beharap bantuan dari Tukul." Istriku benar. Tukul hanya lulusan STM yang kini menjadi tukang service televisi.

Atas kesepakatan bersama antara aku dan istriku, maka kami jual barang-barang milik kami. Perhiasan istriku, televisi, laptop, DVD, kulkas, kamera, segera kami uangkan, tak peduli semua itu baru saja kami miliki.Dengan flight pertama aku pulang ke desa. Ibu menyambutku gembira seperti tak terjadi apa-apa atas dirinya. Rupanya Ibu tetap ingin merahasiakan kesulitannya.

"Ada hal penting sehingga kamu datang, Jo?" tanya Ibu.

"Saya datang karena menerima telpon dari Tukul, Bu."

"Apa yang disampaikan Tukul padamu?"

Ibu tetap tidak merasa bahwa aku datang semata-mata karena masalahnya. Maka aku pun secara blak-blakan menyampaikan maksud kedatanganku. Ibu kaget mendengar keterusteranganku.

"Ini tanggung jawab saya, Bu! Karena kuliah sayalah Ibu mengambil utang di bank," kata saya seraya menyerahkan uang kepadanya.

Ibu menerima dengan ragu-ragu. Ia pandangi wajahku dalam-dalam, seolah sedang menguji keikhlasanku. "Sebenarnya Ibu tidak menghendaki hal ini, Jo," tuturnya pelahan. "Sudahlah, Bu, yang penting utang lunas dan sertifikat Paman bisa bebas," jawabku berusaha memupus keraguan Ibu.

Tiba-tiba Ibu menangis. Aku tak tahu arti tangis-nya itu. Maka kembali aku tekankan bahwa Ibu tak perlu sangsi menerima uang itu. Aku katakan bahwa kondisi ekonomi anak sulungnya alias diriku semakin mapan, karena aku baru saja naik jabatan.

Aku pulang dengan perasaan lega. Kami merasa sudah plong, meski harus berjuang lagi mengumpulkan barang-barang rumah tangga. Namun, seminggu kemudian Ibu mengirim kembali uang itu. Dalam suratnya Ibu bilang bahwa sehari setelah aku kembali ke Jakarta, Tukul datang untuk menyelesaikan kesulitannya.

"Memang usaha adikmu hanya bersifat menunda penyitaan dari pihak bank, dengan cara membayar semua bunganya dan sejumlah cicilan," tulis Ibu. "Perkara sisa utang itu akan Ibu pikirkan nanti. Maafkan kalau Ibu mengembalikan uangmu, Jo."

Aku merasa sangat tersinggung, lebih-lebih Surti. Entah kenapa Ibu tak mau tahu perasaan anak sulungnya perasaan bersalah dan hasrat membalas budi. Sisi buruk dari pikiranku juga menganggap Ibu sengaja membiarkan diriku disiksa rasa berdosa. Dan aku tak bisa mengerti kenapa ia memilih menerima bantuan Tukul yang hidupnya justru jauh lebih sulit. Seolah-olah Ibu tega membuat hidup Tukul makin terseok-seok.

Besoknya aku terbang lagi ke desa. Sengaja aku panggil Tukul agar kami bisa bersama-sama mencari kejelasan.

"Terus terang saya kecewa," kataku geram setelah kami bicara panjang-lebar. "Orang yang bijaksana selalu memaafkan ibunya," jawab Ibu tenang. "Bukankah Ibu sudah minta maaf padamu?"

"Ibu tega kalau saya selalu disiksa perasaan berdosa? Kenapa Ibu tak mau memberikan saya kesempatan untuk menebus rasa berdosa itu? Saya juga punya kewajiban sekaligus hak buat sekadar membalas budi baik orangtua, Bu? Tapi Ibu tak mau peduli."

"Ibu menolak bukan tanpa pertimbangan, Jo," tuturnya. "Ibu mengerti perasaanmu." Ibu memutus kalimatnya. Dia pandangi wajahku dalam-dalam. Kedua bibirnya bergerak-gerak, tapi tidak juga mengucapkan kata-kata.

"Mungkin saya bisa mewakili Ibu, Mas," kata Tukul setelah melihat Ibu tak sanggup lagi bicara. "Kalau Ibu memilih menerima bantuan saya, semata-mata hanya karena Ibu menganggap Mas Tejo sudah tidak lagi milik Ibu sepenuhnya. Mas Tejo sudah berkeluarga, sudah menjadi milik istri Mas Tejo. Dan karena itu Ibu merasa tak berhak lagi merepoti kalian..."

"Hanya karena seseorang telah menikah lalu tertutup kemungkinan untuk melakukan balas budi?"

"Tidak! Masalahnya hanya karena ada saya, anaknya yang lain yang kebetulan belum berkeluarga. Terus terang, sekarang ini saya habis-habisan, sebab uang itu saya peroleh dengan menjual semua milik saya. Tapi Ibu lebih merasa tenang, karena tidak merepoti menantunya. Mas Tejo sudah menjadi milik Mbak Surti."

"Tapi kami ikhlas membantu, bahkan sangat berkepentingan..." "Semula Ibu juga berpikir begitu, Jo," sahut Ibu. "Maka Ibu terima uang darimu. Tapi sehari kemudian Tukul datang memberikan bantuan. Ibu lebih berkewajiban menerimanya, meskipun bantuan itu tak mampu menutup seluruh utang Ibu."

Sesaat suasana hening. Hanya bunyi desing laron yang berpusar di sekitar neon.

"Saya merasa diperlakukan tidak adil," kataku.

"Hanya karena saya telah menikah saya dikorbankan begitu saja. Ibu telah merampas hak saya membalas budi, dan dengan demikian sengaja membiarkan kebolongan jiwa anak sulungnya..."

Kulihat ada dua tetes air luruh dari sudut mata Ibu. Aku yakin hati Ibu tengah terguncang oleh gugatanku.

"Ibu tidak sejahat yang kamu katakan, Jo," ucap Ibu seraya menyeka kedua matanya. "Kalau kamu merasa berdosa karena tak sempat membalas budi, Ibu juga mengalami hal yang sama bila harus menerima bantuanmu. Sungguh Ibu tak ingin merepotkan kamu yang sudah berkeluarga, karena sebenarnya kamu sudah menjadi milik  istrimu, dan milik anak-anakmu kelak. Kalau kamu minta agar Ibu mengerti perasaanmu, Ibu juga meminta kamu memahami perasaan Ibu..."

"Tapi kenapa saya yang harus dikalahkan?"

"Masalahnya tinggal siapa di antara kita yang rela berkorban. Dan ternyata kau tak ikhlas berkorban demi ketenangan hati ibumu yang sudah tua ini..." Setelah berkata begitu, Ibu bangkit, melangkah ke dalam dan masuk kamarnya.

Suasana tiba-tiba mencekam. Beberapa jenak kemudian Tukul berdiri, lantas mengangsurkan langkah ke luar. Kini aku merasa sendiri dan berdiri tanpa pembela. Hatiku jadi makin kacau balau, merasa terlempar ke suatu tempat yang sulit kupahami.

Akhirnya aku pun membuntuti Tukul ke luar rumah. Di luar gelap merata. Malam telah menebarkan sayapnya yang hitam.

"Sebaiknya kita tak perlu mengusik ketenangan Ibu yang sudah setua itu," kata Tukul. "Kalau persoalannya hanya karena Mas Tejo ingin melakukan balas budi untuk menutup kebolongan hati, hal itu amat gampang disiasati. Tapi dengan catatan kalau niat Mas Tejo benar-benar ikhlas dan semata-mata untuk Allah."

"Kamu meragukan?"

"Salah satu tanda keikhlasan seorang pemberi adalah bila ia tidak peduli apakah yang diberi itu tahu atau tidak siapa pemberinya."

"Aku mengerti, Kul. Itulah sebabnya ada ajaran yang mengatakan kalau tangan kanan memberi, sembunyikan tangan kirimu. Dan Suara hati nurani adalah selalu bisik Tuhan. Kalau saya berbuat atas nama hati nurani, berarti juga saya berbuat untuk Tuhan."

"Apakah Mas Tejo rela kalau Mas Tejo menolong seseorang sedangkan yang mendapat nama baik justru orang lain?"

Aku mengangguk meski belum paham persis ke mana arah ucapan adikku itu. "Itulah yang namanya ikhlas, Kul. Kalau masih ingin mendapat nama baik, itu pamrih."

"Kalau begitu bereslah persoalannya," ucap Tukul kemudian.

"Beres bagaimana?"

"Kenapa Mas Tejo tidak menolong Ibu melalui saya? Toh kita tahu Ibu juga akan tetap kerepotan membayar kredit bank selanjutnya."

Aku tercenung. Barulah aku memahami arti ucapan adikku itu.

"Tapi, Mas, dengan cara itu sayalah yang nantinya mendapat nama baik. Apa Mas Tejo tidak keberatan?"

"Kenapa harus keberatan? Kamu benar, Tukul! Kenapa aku jadi sebodoh ini?"

"Kalau dalam soal ini saya harus berbohong kepada Ibu, semata-mata hanya karena saya sangat memahami perasaan Mas Tejo. Dan saya yakin Mas Tejo tak ingin batin Ibu tersiksa."

Oh, betapa bijaknya pikiran itu. Kurangkul pundak Tukul, tak tahu bagaimana harus mengucapkan terima kasih kepadanya.

Lalu Tukul mengajakku pergi ke alun-alun Keraton Yogyakarta, karena dia bilang di sana setiap malam selalu mengadakan pesta rakyat “pertunjukan seni tari dan musik tradisional.” Aku sangat senang sekali,bukan karena aku tidak pernah melihatnya di Jakarta. Melainkan banyak nilai-nilai fositif yang dapat aku ambil dari pertunjukan ini.

Ketika aku menyaksikan seorang penari yang cantik dan rupawan,tiba-tiba ia memakai topeng yang menyeramkan. Meskipun topengnya itu menyeramkan,tetapi ia tetap masih bisa menghibur penonton. Aku jadi teringat dengan kejadian yang baru saja aku alami dengan keluargaku. Aku tidak boleh egois dengan memaksakan kehendakku. Aku harus seperti penari cantik itu, rela berkorban dan bersifat ikhlas. Meskipun aku menolong ibu melalui Tukul, dan ibu tidak tahu kalau aku yang menolong. Bagi aku itu tidak masalah, karena yang aku harapkan hanyalah kebahagian untuk ibu.

Hari sudah larut malam, aku dan Tukul kembali ke rumah. Setelah membuka pintu, aku langsung memeluk dan minta maaf kepada ibu. Ibu pun menangis, air matanya membasahi wajahku. Hari pun mulai pagi, saatnya aku harus segera kembali ke Jakarta. Sebelum pergi, aku berpamitan terlebih dahulu kepada ibu dan adikku. Dan aku berpesan kepada Tukul.”Kul, kalau ada apa-apa kamu harus segera menghubungi Mas ya.” Dan Tukul pun menjawab dengan penuh semangat,”siap Mas.”

0 komentar: