BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Selasa, 10 Januari 2012

BERLIBUR KE KAMPUNG NAGA

          Oleh: Siti Chodijah Juniati
       Hari ini saatnya aku bersiap-siap untuk pergi ke salah satu daerah di Jawa Barat, daerah kampung halaman sahabatku, Lia. Minggu lalu aku sudah sepakat dengan Lia untuk ikut berlibur bersamanya yang kebetulan bibinya akan mengadakan acara pernikahan di sana.
            “Ana, liburan sekolah nanti mau kemana?” tanya Lia padaku.
            “Belum tau, kalau kamu?” tanyaku balik.
            “Minggu besok bi Tuti akan menikah, mungkin aku akan pulang ke kampung.” Jawab Lia datar.
            “Kampung kamu di mana?” tanyaku lagi.
            “Di Kampung Naga, daerah Jawa Barat.” Jawab Lia singkat.
            Dengar namanya saja aku sudah penasaran seperti apa kampung Naga itu. Daripada liburan sekolah tidak kemana-mana aku mengusulkan akan ikut bersama Lia ke Kampung Naga, Lia pun tidak keberatan dan langsung menyetujui usulku.
            Pakaian, perlengkapan lainnya, dan tidak lupa cemilan sudah aku siapkan di dalam tasku. Kini saatnya aku berpamitan dengan ayah dan ibu yang sudah menunggu di depan gerbang.
            “Ayah ... Ibu, aku sudah siap berangkat.” Ucapku.
            “Ya sudah, hati-hati di jalan dan di sana jangan banyak ngerepotin keluarga temanmu ya!” Pinta ayah dan ibu sebelum melepasku pergi.
            “Iya ...” Jawabku sambil mencium tangan mereka.
            Setelah berpamitan, Aku bergegas melangkah ke rumah Lia yang jaraknya tidak jauh dari rumahku, mungkin Lia dan orangtuanya sudah lama menungguku.
Sesampai di sana aku dan mereka pergi ke terminal Labak Bulus dan menaiki bis jurusan Jakarta – Tasikmalaya. Di dalam bis banyak sekali penumpangnya hampir saja kami tidak dapat bagian tempat duduk. Maklum saja karena hari libur sekolah mungkin mereka juga ingin pulang kampung. Apakah itu yang tujuannya ke Bandung, Garut, dan Tasikmalaya, entahlah yang pasti kami satu tujuan yaitu ke Jawa Barat.
Ada hal yang bikin aku penasaran yaitu Kampung Naga, nama daerah itu asing bagiku. Selama perjalanan aku terus menanyakan itu pada Lia tapi ia hanya tersenyum dan jika menjawab hanya singkat dan tidak jelas. “Nanti juga bakal tau kok” begitu jawabnya. Yang pasti kampung itu tidak beda jauh bahasa dan kebudayaannya dengan daerah-daerah lainnya seperti Bandung, Garut, dan Tasikmalaya.
“Kampung Naga itu kampung yang kecil, letaknya berada di tepi jalan raya utama antara Garut dan Tasikmalaya.” Tiba-tiba ayah Lia menjelaskan.
“Oh, begitu... pantas saja aku tak pernah mendengarnya, Pak.” Kataku dengan perasaan yang sedikit lega.
Mendengar cerita singkat tentang budaya di Kampung Naga dari ayah Lia, aku sedikit ngeri/ takut karena itu penduduk di sana sangat patuh akan peraturan yang sudah ditetapkan oleh Moyangnya. Seperti, apabila salah satu warga Kampung Naga menikah dengan orang luar penduduk Kampung Naga maka ia harus keluar dari kampung tersebut, jika tidak maka hukumnya pamali dan dikuatirkan menimbulkan malapetaka. Salah satu contohnya ayah Lia, ia orang asli Kampung Naga menikah dengan ibu Lia yang asli Bandung jadi mereka terpaksa tinggal di luar daerah sana karena takut akan sangsinya.
Perbincanganku dengan Lia dan orangtuanya cukup panjang selama perjalanan, hingga aku tak sadar kalau kami sudah berada di wilayah Garut. Kulihat pemandangan di luar kaca bis begitu indah, tidak sama dengan pemandangan di Jakarta yang panas. Di sini lebih sejuk dan indah karena ada pegunungan dan pesawahan. Tidak lama sampailah kami di terminal Garut. Dari sana kami harus menaiki angkot untuk menuju Kampung Naga.
Waktu untuk menuju Kampung Naga dari terminal Garut cukup jauh, tapi itu tidak terasa bagiku karena selama perjalanan aku memandangi pemandangan di sekitar. Ternyata bukan hanya angkot yang menjadi mata pencaharian di wilayah ini, di sini juga menggunakan jasa delaman. Di mana-mana kulihat kuda-kuda sedang ditunggangi oleh pemilik ataupun penumpangnya. Ada juga kuda yang sedang dimandikan oleh pemiliknya. Bagiku ini sungguh liburan yang sangat menyenagkan dan menjadikan pengalaman yang sangat mengesankan walau hanya dengan memandang saja.
Kesuburan dan kedamaian memang sangat terasa ketika aku mulai menuruni tangga menuju Kampung Naga. Kata ayah Lia, tangga ini sebanyak 360 anak tangga yang harus dilalui untuk menuju kampung ini. Ketika menuruni tangga, terlihat sawah teras siring yang menghijau, sungai jernih melintas dan melingkar dibawahnya, semua itu membuat hati terasa damai. Ketika berpapasan dengan penduduk setempat, mereka juga selalu melempar senyum kepada kami yang datang dan mengucapkan salam. Sepertinya tidak ada rasa keberatan dari mereka untuk dikunjungi. Meski begitu kata ayah Lia, kita harus menjaga kesopanan dan menaati peraturan yang berlaku, seperti berkata sembarangan, memotong ranting-ranting pohon, atau mengganggu hewan-hewan yang ada di sekitar.
“Lia, rumah nenekmu di mana? Apakah masih jauh?” tanyaku sambil memijit-mijit kakiku yang pegal karena kelamaan berjalan kaki.
“Nggak, sedikit lagi samapai kok, itu rumahnya!” jawab Lia sambil menunjuk arah rumah neneknya dan tertawa kecil melihatku yang kelelahan.
“Syukurlah ...” kataku dalam hati.
Dari kejauhan rumah nenek Lia sudah ramai dengan sanak saudara Lia lainnya yang sedang mempersiapkan pernikahan bi Tuti yang akan diadakan besok. Setelah tiba, aku dan Lia dipersilahkan untuk beristirahat di kamar yang sudah disiapkan.
“Akhirnya aku bisa tiduran juga, Lia !” kataku sambil rebahan di atas kasur.
“Ya sudah, kamu istirahatlah aku mau nemuin nenek, kakek, bibi, paman dan saudara lainnya dulu!”  “Ok!” jawabku.
Hari sudah malam, tak terasa waktu begitu cepat berjalan. Di luar masih  terdengar suara-suara orang yang sedang berbincang-bincang. Biasa, di daerah mana pun jika ada acara pernikahan di salah satu keluarganya pasti sanak saudara ikut membantu mempersiapkan pernikahan sampai acaranya selesai.
Aku adalah orang asli Betawi, jadi aku merasa asing melihat adat pernikahan adat Sunda. Ternyata lebih ribet dibanding adat Betawi. Kata Lia, upacara pernikahan adat Sunda memiliki tahap-tahapnya, yaitu upacara sawer, nincak endog (menginjak telur), buka pintu, ngariung (berkumpul), ngamparmunjungan (berhamparan), dan diakhiri dengan munjungan (sungkeman).
Lima hari sudah aku di Kampung Naga. Selama itu juga aku mempelajari adat kebiasaan yang ada di kampung ini. Aku belajar bertani, beternak, dan hal-hal lainnya yang tidak pernah aku lakukan di Jakarta. Aku merasa lebih betah tinggal di sini, tapi aku juga tidak bisa tinggal karena aku bukan asli orang sini, aku hanya pendatang.
Kini aku bersiap-siap untuk pulang ke Jakarta bersama Lia dan orangtuanya. Kemudian aku berpamitan dengan nenek dan bibinya Lia.
“Lain kali kalau libur sekolah main aja ke sini ya, Ana sama Lia!” Pinta bi Tuti sambil tersenyum ramah.
“Iya, nggak apa-apa mau lama juga di sini ... ajak juga orang tua Ana!” Ucap nenek melanjutkan.
“Iya, Insya Allah nenek, bibi ... aku sama orangtuaku kesini.” Jawabku sambil tersenyum.
Selain dapat pengalaman, aku juga mendapat kesan yang baik di Kampung Naga ini. Selain masyarakat yang pemegang teguh dengan adat dan kebudayaan, mereka juga orang-orang yang sangat ramah terhadap  pendatang atau tamunya. 

Tugas 5 Penpop




0 komentar: