BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Selasa, 10 Januari 2012

DI BALIK RUANGAN

oleh :Hilaria Sidang
Brak! Suara pintu berdebam keras di belakangku, diikuti suara anak kunci diputar. Pintu  dikunci dari luar aku menarik napas panjang tanda kelegaan yang luar biasa beberapa detik kemudian aku masih terdiam, menunggu benar-benar aman…………
Kuayun langkah  mendekati wulan putri kecilku, dia duduk di sudut meringkuk ketakutan dengan tubuh menggigil . Setiap kali Ayahnya ada di rumah, wulan lebih sering dalam posisi seperti itu. Kupeluk tubuh kecil mungil itu.   Di usianya  yang hampir enem tahun, postur tubuhnya tak lebih besar dari anak berumur empat tahun, rambutnya tipis, gadis kecilku itu mengalami keterbelakangan mental.
“Ngg….Gi? Aya…gi?”tanyanya berulang-ulang
“Iya, sayang. Ayah sudah pergi.”
Sesaat dia menatapku.
Tempat ini begitu pengap dan dingin, rasanya lebih tepat jika kukatakan mirip gudang daripada rumah. Di sana-sini berserakan pakyan kotor, botol-botol bir bekas minuman Arman suamiku.
Dulu  aku  pernah mencoba membereskan ruangan ini tapi tak ada gunanya, karena setiap kali Arman datang ia melempar semua  barang  ke sana kemari hingga wulan ketakutan.. Terkadang ulahnya bisa lebih parah, sudah berapa kali dia menendang, memukul dan menjambakku. Tapi aku selalu pasrah  menerima perlakuannya, selama dia tidak mengganggu wulan. Sudah sekitar tujuh tahun aku terkurung di sini sejak menikah dengannya duniaku menyempit menjadi hanya seukuran   berukuran dua puluh meter. Saat Arman tidak ada di rumah dia akan mengunci pintu dari luar sehingga aku tidak bisa keluar dari ruangan ini.
Ruangan ini satu-satunya penghubungku dengan dunia luar. Aku senang berlama-lama di depan jendela melihat orang-orang yang lewat di depan rumah kami, di luar sangat ramai  seperti pagi ini,ada seorang tukang sayur berhenti beberapa ibu langsung mengerumuninya aku ingin seperti mereka.
“Bawa sayur bayam nggak, Bang?”tanya ibu berbaju merah yang menggandeng anak lelakinya.
“Ada, Bu. Mau ambil berapa? Masih segar,lo”.
“Boleh deh. Dua ikat ya, Bang. Buat anak saya,dia senang makan sayur bayam.
Sesekali mereka tertawa mendengar salah seorang dari mereka melontarkan kalimat-kalimat lucu. Aku tersenyum sendiri, membayangkkan seandainya aku di sana bersama mereka. Kalau saja hidup kami seperti mereka, mungkin aku pun demikian tapi sayang suamiku pemabuk dia selalu melarang aku dan wulan berkeliaran. Wulan yang cacat mental membuatnya malu mengakui bahwa wulan adalah anak kandungnya, tapi aku slalu mengerti perasaannya. Terkadang dia marah padaku “Dasar perempuan tak berguna!pasti kau berselingkuh dengan lelaki lain! Bisa-bisanya melahirkan anak seperti itu”.
Aku diam saja, terbiasa dalam situasi seperti ini membuatku tidak  lagi mengeluh sejak menikah dengan suamiku itu, duniaku menyempit menjadi hanya seukuran ruangan, dahulu ketika kami masih pacaran tak henti-henti-hentinya Arman meminta uang hasil kerjaku, seharusnya  saat itu juga aku tahu bahwa Arman bukanlah calon suami yang baik.
Aku sangat kaget melihat Wulan memegang pisau
“Wulan! Lepaskan pisau itu, Nak!” pekikku khawatir.
Alya tertawa-tawa dengan pisau dalam genggamannya. Mungkin baginya pisau itu adalah  mainan baru yang menyenangkan.

Aku berusaha merebut pisau itu dari genggamannya.
“jangan, Nak! Sini…berikan pada  ibu”.
“Aa..! Gak Au..!”Wulan berusaha menghindar dariku. Aku  jadi  semakin  khawatir karenanya.
“Nak , jangan main-main dengan pisau, berbahaya!
Mendengar berteriak, Alya semakin keras melawan. Dia berlari dan mengejarnya..
Kres!
Darah menetes di mana-mana. Aku terpaku menatap tanganku yang berlumuran darah.
“Tidaaaakk….!” teriakku.
Tubuh anakku terbaring lemah, aku tidak ada semangat lagi untuk hidup,ini seperti mimpiku.

Tugas 3 Penpop

0 komentar: