BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Rabu, 25 Januari 2012

FATIMAH


oleh: Noer alfah
“Fatimaaaahhh… bangun udah siang kebiasaan lu ya perawan bangunnya siang-siang, gimana mau laku lu ya, jadi perawan males banget”. Seperti biasa omelan Nyak setiap pagi yang kudengar.  Aku hanya mengangguk dan meneruskan tidur lagi. Setelah kubangun tidur bukan kamar mandi yang kutuju, tapi meja makan dan langsung kubuka tutup saji, lagi-lagi semur jengkol favorit Babeh  yang terhidang di meja makan, sambil mengerutkan dahi kututup tutup saji, dan langsung menuju kamar mandi. Selesai mandi aku langsung menuju halaman belakang di sana ada Babeh yang sedang memberi makan ayam jago kesayangannya. “ Eh  Fatimah,  anak Babeh udah mandi gak biasanya!” Babeh meledekku. Aku langsung makan pisang goreng dan teh manis yang disiapkan Nyak.
            “Fatimah… Fatimah!” Nyak memanggilku. Nanti sore jangan lupa dandan yang cantik, nanti anter Nyak kondangan, di rumahnya Mpok Rohaya”. “Nyak kan tau Fatimah paling males kalo ikut begituan, apa lagi pake dandan- dandan segala, pokoknya Fatimah gak mau ikut, paling juga nanti kalo ketemu temen Nyak mau dijodohin lagi sama anaknya”. Kata Fatimah. “Gak deh Fatimah Nyak gak jodoh-jodohin lagi ama temennya Nyak, tapi Fatimah mau ya anter Nyak kondangan.” Wajah Nyak memelas.  Kalo udah begitu gak ada alesan lagi buat nolak. “Ya udah, ia Nyak Fatimah mau tapi Nyak janji gak jodoh-jodohin Fatimah.” Ucap Nyak. “ Ehmzz…. Fatimah emang anak Nyak, ia Nyak janji!” lanjut Nyak.
            Tiba waktunya aku mengantar Nyak, hal yang paling menyebalkan, pertama harus menunggu Nyak berdandan yang membutuhkan waktu berjam-jam, terus nanti kalo udah nyampe ditempat kondangan harus mendengarkan Nyak ngerumpi sama teman-temanya. Tiba di sana ternyata kedatanganku bareng dengan kedatangan besan keluarga mempelai laki-laki, aku melihat serangkaian adat pernikahan ketika dari adat palang pintu, terus seserahan, dan ada roti buaya. Setidaknya aku enggak terlalu bete masih ada pertunjukan yang bisa kulihat. Setelah itu, aku menghampiri Nyak yang sedang asyik ngerumpi sama temen-temennya.  “ Eh Fatimah, kapan nikah?” tanya dari salah satu teman Nyak padaku. “Huuuhhh… lagi-lagi pertanyaan itu, yang selalu mereka pertanyakan.” Keluhku dalam hati. Aku hanya menjawab dengan senyuman kecil sambil berkata “ Nyak, udah yuk kita pulang, udah sore nih, Fatimah udah bosen di sini!” Nyak mendengarkan perkataanku, dan segera berpamitan dengan teman-temannya.
Tiba di rumah, aku merebahkan diri di kamar sambil menunggu adzan  Maghrib. Setelah adzan berkumandang aku bergegas mengambil air wudhu, seperti biasa aku sekeluarga melaksanakan shalat Maghrib berjamaah. Setelah selesai shalat kami membiasakan untuk membaca sedikit ayat-ayat Alquran sambil menunggu waktu Isya. Setelah shalat Isya, kami juga selalu menyempatkan untuk makan malam bersama.
Aku anak tunggal, aku dilahirkan dikeluarga yang sangat kental budaya Betawinya.  Selesai makan malam, rasanya aku sudah merasa sangat lelah. Namun seperti biasa aku enggak bisa tidur, lalu aku membantu Nyak merapihkan meja makan dan mencuci piring. Kewajibanku menyelesaikan pekerjaan sudah selesai kemudian aku meranjak ke kamar untuk tidur.
Rasanya baru saja sebentar aku memejamkan mata, Nyak membangunkanku untuk melaksanakan shalat Subuh, namun rasanya mata ini terasa sangat berat, tapi Nyak terus saja menggedor pintu sampai aku terbangun. “ Eh, Fatimah bangun entar abis shalat Subuh tidur lagi!” Aku langsung terbangun, kasian juga si Nyak dari tadi teriak-teriak membangunkanku. Setelah shalat Subuh, rasanya aku tak seperti biasa langsung tidur. Kubuka pintu rumahku, kurasakan sejuknya udara pagi ini masuk ke dalam ruang tamuku, kulihat Nyak yang masih sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan pagi, namun pagi ini untunglah bukan semur jengkol yang dimasak. Aku ingin membantu Nyak di dapur, namun aku tak bisa memasak. Sejenak dalam pikiranku, ingin rasanya aku berjalan-jalan sebentar disekitar rumahku sambil menghirup segarnya udara pagi. Lalu, aku meninggalkan dapur dan segera pergi berjalan-jalan. Tak terasa aku berjalan dan tiba di sebuah danau, matahari hampir memancarkan suryanya, rumput-rumput di sekitar danau masih basah dengan air embun. Baru kali ini aku merasakan sejuknya udara pagi. Kulihat-lihat apa saja yang ada di sekitarku. Tak jauh kumelihat sebuah tenda berdiri, dan bekas bakaran kayu yang masih tersisa asap putih, dan sedikit  batu bara yang masih menyala. Sepertinya ada camping semalam di sini, namun aku tak menghiraukanya lagi. Tiba-tiba saja ada yang menepuk bahuku, aku terengah, sosok laki-laki tinggi putih dan tampan, memakai jaket hijau Armi dan celana panjang yang bercorak sama. Aku bergumam dalam hati “ ganteng benget nih orang ya!” rasanya aku tak pernah merasa salah tingkah seperti ini saat dia menyapaku.
“Permisi saya mau tanya, kalau jl. Permai di mana ya?” tanya laki-laki itu padaku. Aku tak menjawab pertanyaan, sampai dia mengulang pertanyaan sama, “ oh… jl. Permai ? mau cari siapa?” tanyaku. “Saya Arif cucunya Engkong Ali dari bandung” jawabnya. “ Oh… Enkong Ali yang guru ngaji? satu-satunya engkong Ali yang ada di jl. Permai cuma engkong Ali yang guru ngaji.” Jawabku jelas. “Saya kurang tau, yang saya tau cuma namanya saja engkau Ali tinggal di Jl. Permai” ucapnya. “Oh, kalau seperti itu Arif ikut saya saja untuk lebih memastikannya lagi.” Pintaku padanya. “Oh, iya kenalin nama aye Fatimah” kataku memperkenalkan diri. “Oh, ya udah kalau gitu aku ikut sama kamu saja Fatimah.” Jawabnya. “Ya udah, ayo kita pergi! ajakku.  Selama perjalanan ke rumah engkong Ali, kami hanya diam, tak ada yang memulai pembicaraan, mungkin karena kami baru kenal. Akhirnya tiba di rumah engkau Arif, tiba di sana aku  mengucapkan salam. “ Assalammualaikum…engkog…kong…kong Ali, ada cucunya nih katanya dari Bandung.” Kataku. Tak lama, engkong Ali segera keluar ada apa Fatimah?” tanya engkong. “Ini engkong, ada Arif, katanya cucu Engkong dari Bandung” jawabku. “Arif ?” pikir engkong seperti orang yang bingung. Arif memperkenalkan diri, “Ia Enkong saya Arif anak pa Sofyan, dan Bu Siska dari Bandung.” Ucap Arif.  Engkong Ali memeluk Arif, “Cucuku sudah besar kamu nak? Bagaimana keadaan ayahmu Sofyan?” tanya engkong. Arif hanya menjawab dengan tersenyum. Aku langsung pamit pulang sepertinya keberadaanku  cukup mengganggu pertemuan dua insan yang baru bertemu. “ Enkong aye pulang ya!” kataku pamit. “Ia Fatimah”. “Fatimah!” “Ya!” aku menoleh ternyata arif yang memanggilku, “makasih ya!” Katanya. Aku tersenyum sambil menganggukan kepala.
“Ya Allah… Fatimah dari mana aje tumben amat pagi-pagi udeh keluyuran, bagus dah ye anak Nyak enggak takut matahari lagi.” Nyak meledeku. “ si Nyak, aye bangun pagi salah, bangun siang salah harusnya Fatimah bangun jam berapa Nyak?” ” Ya Allah Fatimah Nyak cuma becanda, Fatimah bangun jam berapa juga Fatimah tetep anak Nyak, aku hanya tersenyum dan langsung menjawab begitu dong Nyak. Yaudah Nyak Aye mandi dulu ia udah gerah nih”.
 Selesai mandi rasanya cukup segar, aku lansung menuju meja makan dan menyantap makanan yang sudah disiapkan Nyak dari tadi pagi. Kucuci piring yang tadi kupakai untuk makan. Sepertinya setelah makan aku merasakan mata yang teramat sangat mengantuk, mungkin karena biasanya aku tak pernah bangun pagi-pagi. Tanpa terasa aku tertidur di ruang tamu.
“Fatimah bangun ada Arif tuh katanya cucu engkong Arif,” tak seperti biasa aku langsung  terbangun mendengar Arif yang disebut si Nyak. “ Arif Nyak? Ia Arif, Fatimah kenal dimana sama Arif, duh Nyak ceritanya nanti aja ia”. Aku langsung menghampiri Arif, ada apa Rif? Fatimah aku belum mengucapkan terimakasih, terimakasih apa Rif? Terimakasih kalau kamu udah mempertemukan aku dengan Engkong Ali, oh tadikan aku sekalian pulang lagiankan rumah akukan sama Enkong Ali deket. Oh jadi kamu cucunya Engkong Ali? Tapi aku koq gak pernah liat kamu ya, sebenernya si aku bukan cucu kandungnya Engkong Ali, tapi dulu waktu ayah aku kuliah di Jakarta Engkong Ali yang menjaga Ayahku sampai beliau lulus. Ayahku seperti anaknya sendiri”. Sebelum orang tuaku meninggal, beliau berpesan agar aku menemui Engkong Ali, dan mengabdi dengan nkong Ali, kata ayah Enkong Ali tak punya keluarga deket. Jadi orang tuamu sudah meninggal? Ia Fatimah ibuku meninggal ketika aku masih berusia sepuluh tahun, dan belum lama ayah meninggal karena serangan jantung sebulan yang lalu. Aku hanya terdiam dan tak berani bertanya tentang dirinya. Ooohh ia Fatimah nanti malem kita jalan-jalan, hitung-hitung untuk mengucapkan terimakasih, dan aku juga ingin tau banyak tempat-tempat bagus yang ada disini.
Setelah pertemuan itu aku sering bertemu dan jalan bersama, aku bingung perasaan apa yang ada di dalam hatiku saat ini, mengapa aku jadi selalu salah tingkah saat berhadapan dengan dirinya. Kata Nyak banyak perubahan dalam diriku, aku selalu bangun pagi, belajar memasak dan selalu melakukan hal-hal positif yang tak pernah aku lakukan sebelumnya. Apa ia aku merasakan jatuh cinta? Apa karena cinta yang mengubah aku seperti ini, namun sepertinya tidak, ada halnya aku harus berubah menjadi orang yang lebih baik lagi.
Arif begitu perhatian denganku, kami tak pacaran, namun setiap malam minggu Arif selalu main ke rumahku seperti yang dilakukan orang yang berpacaran pada umumnya. Arif cukup memiliki banyak teman bukan hanya aku, karena bagiku Arif orang yang mudah bersosialisasi terhadap lingkungannya saat ini, Ia pemuda yang ramah dan menyenangkan. Mungkin karena sifatnya yang seperti itu membuat aku kagum atau mencintainya. Entahlah sampai saat ini aku tak pernah tau apa dia punya perasaan yang sama…




0 komentar: